Oleh Catharina Apriningsih
Yogyakarta, Indonesia.
Alumna SLB/B Dena Upakara, Wonosobo,
1973-1982
Koordinator Pembantu
blogspot Penghiburku.
Beberapa hari
sebelumnya, melalui jejaringan sosial, facebook,
saya berkenalan dengan pak Taba Titus, orang asli Makassar,
Sulawesi Selatan. Tetapi beliau bekerja di
Sorong, Papua. Seperti biasa, sesuai tata cara pertemanan
di facebook, kami saling menyapa, menulis komentar di dinding facebook kami masing-masing. Tanggal 16 Maret 2012 pagi, saya menemukan sebuah pesanan dari pak Titus pada kotak masuk facebook saya. Beliau
menyampaikan kabar bahwa beliau ingin bertemu dengan saya, karena beliau sedang
berada di Yogyakarta untuk menghadiri suatu pertemuan selama dua hari. Untuk itu saya mengirimkan kepadanya, nomor telepon genggam dan alamat
tempat saya bekerja. Setelah itu saya berangkat seperti biasanya ke tempat kerja saya sehari-hari di Perpustakaan Kolese Santo Ignatius,
Jl. Abubakar Ali, No. 1, Kota Baru, Yogyakarta.
Tiba di tempat kerja,
saya mengontak ibu Dita Rukmini, ketua redaksi majalah Melawan
Sunyi Mengukir Prestasi, karena ada pesanan majalah yang akan
saya kirimkan ke anak-anak SLB/B di Kupang, NTT, atas permintaan ibu Mutiara Gajeng. Meski pun lelah karena
baru saja kembali dari perayaan hut 74 SLB/B Dena Upakara, Wonosobo, ibu Dita mengayuh sepedanya untuk mengantarkan pesanan
majalah MSMP itu ke tempat kerja saya.
Selesai mengurus pesaan itu, saya mengajak ibu Dita ke ruang minum karyawan. Saat saya sedang membuat teh, ibu Dita sempat tertidur di kursi karena mengantuk berat. Mungkin dia masih kelelahan karena perjalanan kembali ke Yogyakarta dan juga karena
padatnya kegiatan selama di Wonosobo. Setelah membuat teh, saya membangunkan
dia dan sambil minum teh, kami mengobrol dan berdiskusi seputar beberapa sifat
khas yang dimiliki kaum tuna rungu, seperti: keras kepala (Jawa: ngeyel), cepat tersinggung,
lekas marah, egois dan sebagainya. Setelah itu, ibu Dita pulang rumah dan saya melanjutkan pekerjaan saya di kantor perpustakaan. Terima kasih ibu Dita.
Lewat jam satu siang, saya diberi tahu oleh rekan kerja saya bahwa ada tamu yang ingin menemui saya. Saya tahu bahwa yang datang
itu pasti pak Titus, tamu
tidak terduga, yang telah menghubungi saya pagi hari tadi. Ternyata beliau benar-benar menepati janjinya. Beliau baru saja menghadiri pertemuan di UGM (Universitas Gadjah Mada) sebagai
partisipan dari Komnas PGPKT (Komisi Nasional Penanggulangan Gangguan
Pendengaran & Ketulian) atas nama wilayah Sorong, Papua. Beliau banyak bertanya kepada saya tentang kapan saya tuli,
sekolah di mana dan
lain-lain. Saya menyampaikan kepada beliau beberapa hal seputar alma mater SLB/B Dena Upakara Wonosobo. Saya juga
menunjukkan foto-foto hitam putih saya ketika saya masih bersekolah di sana. Beliau juga bertanya, apakah saya memakai alat bantu dengar. Saya lalu menduga-duga, kalau profesi beliau adalah dokter THT. Beliau juga bertanya tentang apa itu ADECO. Saya sempat menjelaskan
kepada beliau, kalau ADECO itu adalah ikatan kekeluargaan antar alumni Dena
Upakara dan Don Bosco. Tidak lupa saya menunjukkan buku: Menggapai
Prestasi di Telaga Sunyi, yang ada
penjelasan tentang ADECO. Saya juga memperlihatkan majalah Melawan Sunyi Mengukir Prestasi, yang baru saja diantarkan ibu Dita. Dan yang pasti, saya menawarkan buku dan majalah itu kepadan beliau. Saya sangat bergembira karena beliau
membeli apa yang saya tawarkan kepadanya. Dan ini adalah untuk pertama kalinya, saya bisa menjual majalah tuna rungu Indonesia kepada pembaca non tuna rungu. Saya bersyukur kepada Tuhan karena telah mengirimkan berkah-Nya kepada saya hari itu, melalui kehadiran seorang tamu
tidak terduga, dalam diri pak Taba
Titus yang jauh-jauh datang dari Sorong,
Papua, Indonesia Timur. Apa lagi beliau adalah seorang pemerhati anak-anak tuna
rungu. Terima kasih pak Titus. *** Yogyakarta, 16 Maret 2012.
Bagus tulisan mbak Apri ini. Harap linknya dibagikan ke facebook pak Titus Taba. Terima kasih. Maju terus! Viva Penghiburku.
ReplyDeleteLuar biasa - tulisan yang mengingatkan saya akan arti persahabatan indah yang tidak mengenal latar belakang dan kondisi seseorang - persahabatan yang tulus lahir dari hati yang mendengar dan memberi jawaban atas gejolak rasa. Terima kasih, mbak Apri. Tuhan besertamu.
ReplyDeleteKata peneguhan dari Sobat Titus Taba "HATI yang MENDENGAR" itu sungguh menghibur hati kami tuna rungu! Biarlah telinga kami tidak bisa mendengar, Tuhan sungguh maha adil telah memberikan keuntungan kita: HATI ITU JUGA DAPAT MENDENGAR! Dan kita juga dapat menjalin persahabatan dengan orang lain. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk merasa minder sebagai tuna rungu! Dan tidak ada alasan untuk mengasihani diri! Kita juga mampu berbuat sesuatu untuk sebagai ungkapan ekspresi kita mengasihi orang lain! Betul, kan? Terima kasih, Sobat Titus Taba! Salam Tempel Jempol, Sobat!
Deletebetul juga apa yang saudara2 katakan...Sepi gak slamanya tetap sunyi Hati dan Pikiran juga mendengar... Mb Apri, seorang yang berbeda tetapi lebih berbeda diantara perbedaan. Smua karena Kuasa dan Karunia Allah yg harus disyukuri dengan hati ikhlas dan tulus.... Kalian tunarungu pasti bisa mendengar karena Allah.... Ayo berkarya...!!
DeleteMenjadi seorang TULI atau Tuna Rungu bagiku adalah suatu anugerah yang sangat Indah! Mengapa?
DeleteAku sungguh merasakan CINTA yang MURNI dari Allah Bapa, orang tuaku, kakak2ku, seluruh familyku, mantan guru2ku, sahabat2ku dan semua teman2ku!
Tuhan memberkati kalian semua para pembaca blogspot ini!
Terima kasih mbak Dita untuk apresiasinya. Kita semua semua dicintai oleh Allah Pencipta kita dan Dia memberikan yang terbaik untuk kita agar bisa hidup di dunia manusia ini. Salam ke Yogyakarta.
DeleteHalo Apri, lama tidak jumpa.
ReplyDeleteKau aktif di blog ini ya, oke bagus !
Kita perlu selalu mempromosikan kepada "kaum mendengar" bahwa orang yang berkebutuhan khusus karena tunarungu adalah orang-orang yang bisa berprestasi seperti mereka.
Sukses !
Halo juga, salam dari Jogja.
ReplyDeleteYA dan TERIMA KASIH, Suster Antonie!