Di awal-awal menjadi guru anak-anak tuna rungu, aku
betul-betul grogi dan agak stress. Mengajar anak-anak tuna rungu
ternyata sulit minta ampun. Terutama mengajari mereka bahasa Indonesia, walau
aku sendiri tuna rungu. Sebelumnya aku pernah menjadi guru ketrampilan bagi
napi di penjara, aku tidak mengalami kesulitan, malah diberi tantangan untuk
selalu menyadarkan para napi untuk bertaubat
dan malu pada diri sendiri. Juga pernah menjadi guru ketrampilan
sukarelawan bagi anak-anak jalanan di rumah singgah dan tidak mengalami
kesulitan. Aku menjadi guru mereka dan tidak merasakan adanya tantangan apa pun
karena sudah banyak sukarelawan yang menangani mereka.
Menjelajah ke berbagai SLB di Jogja untuk melihat
kegiatan pembelajaran anak-anak tuna rungu. “Tuh lihat Darsih anak pinter. Rajin
belajar”, kata ibu Nar
dengan bangga sambil menunjuk ke arah Darsih.
Ketika ibu Nar pergi, sengaja aku menunjukkan
tulisan “daun” di papan tulis dan bertanya: “Apakah kamu
pernah melihat daun?”. Kagetlah aku karena ternyata Darsih tidak tahu. Aku tak percaya! Dia kelas IV SDLB, koq tidak
tahu? Dia bisa
menyalin tulisan dari papan tulis ke buku catatannya. Kucoba lagi masuk ke
kelas II SMPLB, pada saat pelajaran bahasa Inggris. Kulihat seorang siswa
menyalin catatan bahasa Inggris ke papan tulis, sedangkan gurunya menulis
sambil merokok. Aku beranikan diri
menulis di papan tulis: “Hallo how are you?” Anak-anak
malah bengong. Dahiku mengernyit, mengapa anak-anak bengong? Apa karena aku
orang asing yang berani masuk kelas dan menulis ke papan tulis mereka? Entahlah?
Aku mencoba memperagakan bahasa isyarat: “Hallo how are you?” Aduh, pusiiing! Anak-anak malah tidak merespon untuk
menjawab. “Ayo jawab, siapa tahu?” Tanyaku.
Ternyata mereka tidak tahu dan hanya bisa menyalin tulisan di papan tulis itu ke
buku catatan mereka. Peristiwa itu membuat hatiku memberontak melihat kenyataan
anak-anak tuna rungu tidak seperti yang aku alami semasa aku bersekolah di SLB.
Duh Gusti, apa yang harus aku lakukan
untuk anak-anak tuna rungu agar mereka tidak sekedar menjadi siswa foto copy di saat mengikuti pelajaran di
sekolah?
Mengajarkan pelajaran bahasa Indonesia untuk lima anak
tuna rungu beda kelas dari kelas 2 sampai kelas 5 SDLB di rumah yang kebetulan
tetanggaku satu perumahan. "Ayo jawab
pertanyaan!" Kataku sambil kutunjuk nomer pertanyaan di bawah bacaan
pada buku PR, mau pun buku paket kepada Anin
siswa kelas 5 SDLB. Dia berusaha mencari kalimat pertanyaan yang persis ada
di bacaan sampai lama sekali mencari. Aduuuh bagaimana caranya? Aku hampir
putus asa! Kepalaku mau pecah! Dia bisa membaca bacaan, tetapi belum bisa
memahami isi bacaan itu, membuat aku semakin sedih. “Tuh salah!” Aku memberi koreksi pada jawaban di buku PR. Dia malah membantah
dengan bahasa isyarat, “Guru betul bilang”. Kupikir memang aku benar, tetapi malah
dia marah : “Bukan tuh betul! Kamu salah
besuk bilang guru bilang” (sambil
menunjuk jawabannya), lalu dia pergi dan
masuk kamar. Aku mengernyit penuh tanda tanya. Maksudnya apa, aku mengikuti
masuk kamarnya dan berusaha bertanya kepada Anin,
tetapi ditolaknya. Tiga hari kemudian dia pindah sekolah mengikuti tugas orang tuanya.
Sejak peristiwa itu aku semakin penasaran dan ikut meremehkan cara mengajar
gurunya. Begitulah anak tuna rungu, diajari agar bisa berbicara, malah membuat
orang yang diajak bicara jadi bingung. Kata-kata yang diucapkan mereka seperti
teka-teki, tidak tau maksud apa yang dimauinya.
Duduk menunggu mau menemui kepala sekolah, seorang siswa
kelas 6 SDLB masuk langsung berkata, gunting,
sambil tangannya mengisyaratkan gunting kepada guru yang menemaniku. Gurunya
memuji bahwa “dia pinter bicara”. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa memang
anak ini pintar mengucapkan kata gunting saja, atau kata-kata lain juga selain
kata gunting? Bisa bicara tapi komunikasi bisa atau tidak? Kucoba membantu memperbaiki
ucapan ‘ayo berkata permisi, bolehkah saya pinjam gunting?’ Malah gurunya menyangkal ‘dia bisa bicara’ sambil menepuk punggungnya bangga. Dengan pandangan
mata, aku lihat dia bingung, mau ikut ucapan gurunya atau aku, tamu sekolahnya.
“Bisa ngomong”, katanya sambil
dengan bangga dia memperagakan bahasa isyarat. Aku bertanya, “Kamu kelas
berapa?” Dia malah mengangkat bahu, tidak
tahu apa yang kutanyakan. Aduh pusing! Aku mencoba mengulangi pertanyaanku
lagi, tetapi kelihatnya dia sepertinya bingung. Setelah beberapa saat, aku
mencoba memperagakan hitungan jari untuk membahasakan maksud pertanyaanku,
barulah dia merespon menjawab bisu, sambil menunjukkan enam jari tangan.
Mungkin maksud dia: “Aku kelas enam”.
Setelah itu barulah aku mengerti. Katanya bisa ngomong, nyatanya masih tetap
bisu!
Mengapa siswa tuna rungu menjadi foto copy, alias diajari bicara satu kata satu kata saja dan tidak
sebuah kalimat? Mengapa budaya komunikasi menjadi bisu? Ini yang membuat aku
semakin penasaran. Lalu aku berkenalan dengan teman yang pernah mengajar di SLB
tuna rungu yang metode pembelajarannya mirip semasa aku bersekolah di SLB tuna rungu.
Kami berteman dan mempunyai keinginan yang sama untuk membimbing anak-anak tuna
rungu agar mereka bisa berbahasa Indonesia dan berkomunikasi dengan baik. “Tolong kamu
ganti mengajar di kelas latihan”, pinta ibu Milah saat dia dipanggil untuk menerima tamu. Aku berdiri di depan
dua belas siswa usia antara 1,8-4 tahun. Mereka duduk manis membentuk setengah
lingkaran. Keringatku bercucuran dan grogi. Rasanya mulutku capek
mengulang-ulang ucapan yang sama dan pelan-pelan sekali. “Bu, capek! Pipiku rasanya mau kram dan rahang ini berat untuk bergerak”, kataku kepada ibu Milah. Dia malah
tertawa. “Lho kalau ngobrol dengan orang lain,
koq tidak capek ya?” Kata bu Milah lagi. “Bu, tapi beda koq bu.” Kataku
cemberut dan mau putus asa. Keesokan harinya aku coba lagi, tetapi malah tambah
stres karena anak-anak semaunya
sendiri. Ada yang menangis belum berhenti-berhenti, ada yang rebutan mainan,
ada yang jalan-jalan wira-wiri dan
tidak mau duduk. Pokoknya sikap mereka tidak pernah tenang selama proses KBM
(Kegiatan Belajar Mengajar) berlangsung. Hal ini membuat aku stres dan grogi. Aku berusaha mengingat masa kecilku, ketika diajari bicara
oleh Sr. Henricia yang kocak dan lucu,
membuat kami murid-muridnya tertarik. “Ayo naik motor!” Kataku mengajak, sambil bibir menggerakkan gerakan
cepat rabanan brr...., menirukan
bunyi motor dan tangan menirukan gerakan stang motor. Anak-anak antusias dan
mau menirukan sambil berjalan mengelilingi kursi setengah lingkaran. Hatiku pun
menjadi lega. Anak-anak minta lagi dan mau menirukan rabanan. ***
Naskah ini ditulis oleh:
Marsudiyati Partamaningsih, S.Pd.
Alumna SLB/B Dena-Upakara, Wonosobo, Angkatan
1983.
Kini Guru SLB/B Karnnamanohara, Jogja.
Dan dikirimkan
ke blog ini oleh:
Catharina Apriningsih, Yogyakarta.
Koordinator Pembantu Blog-Spot
Penghiburku.
Terima kasih ibu guru untuk tulisan yang luar biasa ini. Karena agak panjang tulisan aslinya, maka saya memenggal tulisan ibu jadi dua artikel. Biar lebih pendek agak teman-teman penyandang kesulitan mendengar bisa menangkap pesannya dengan lebih mudah. Tulisan kedua akan saya muat setelah yang satu ini. Proficiat. Salam dari Dili, Timor-Leste. Viva Penghiburku!
ReplyDeleteBravo! Bagus sekali pengalaman Mbak Aning itu! Semoga para guru tidak membiarkan banyak "murid fotocopy" yang asal-asalan menyalin tulisan pelajaran atau asal meniru tanpa memahami artinya, nanti jadi "bangsa fotocopy", haha...
ReplyDeleteMbak Aning nanti lihat lagi ya... Aku edit tulisanmu jadi dua artikel: 1. Suka Duka Guru Anak Tuna rungu. 2. Pelangi Kata Pada Bunga Teratai. Dan aku dapat sms dari teman-teman juga yang memuji tulisan mbak Aning, "Pelangi Kata Pada Bunga Teratai". Percapakan yang sangat polos dan menggugah bersama anak-anak didik. Terima kasih sekali lagi dan salam dari Dili, "markas" Penghiburku.
ReplyDeletetrimakasih.... Tulisan pada Pelangi....dah dibacakan murid2ku. Mereka tertawa mengingat masa kecil mereka. Kata mereka bu Aning lucu....he..he..he..
Deletetrimakasih... Tulisan pada "Pelangi kata Pada Bunga Teratai" dah dibaca murid2ku. Mereka tertawa mengingat masa kecil mereka dan mereka bilang bu Aning lucu dan ada2 aja he..he..he..
ReplyDeleteooh...itu bu Aning ya? Dia dulu guruku. Aku kagum. Dia pintar dan lucu. Aku suka walaupun sering dimarahi kalau aku gak paham. Aku kaget melihat dan membaca. Ternyata bu Aning pandai menulis dan menggambar. Sekarang aku kelas X SMA. Dulu dia mengajar les sejak aku kls 8 sampai lulus SMP. Aku kangen bu Aning.
ReplyDeletewow Vina gimana kabar? Sekarang kamu di SMA mana? Kamu juga pintar bu Aning bangga... Jauh dimata dekat di hati ya...OK?!?!?! SEMANGAT!!
ReplyDeletetulisan dan gambar bu/mbak Aning bagus sekali begitupun tulisan teman2nya juga bagus walau sederhana. Ternyata tunarungu bisa menulis. Teruskan berkarya....!!!
ReplyDeleteCool and that i have a super give: How Much House Renovation Cost victorian renovation
ReplyDelete