“Alhamdulillah”, terucap di bibir Prita,
anak tuna rungu yang berusia enam tahun, membuat aku terperangah. Sulit
kulukiskan betapa anak itu begitu jernih bersyukur, hatinya tulus mengajari aku
gurunya untuk ikut bersyukur bersamanya. Saat mengganti salah seorang sejawat yang
berhalangan karena sakit, aku mengajar di kelas Taman1. Aku tambah stres karena sebagian siswa belum
mengerti kalender “hari ini” berulang-ulang. “Hari ini
hari apa?” Tanyaku berulang-ulang sampai
pipiku capek dan tidak sabar. Aku putus asa. Bu Milah menasehati aku: “Kamu harus sabar karena kemampuan tiap anak berbeda
dan anak-anak itu istimewa seperti kamu”. Lalu dia
menceritakan pengalamannya mengajar anak-anak tuna rungu di SLB tuna rungu,
yang membuat dia jatuh cinta pada mereka, apalagi cantik-cantik dan
cakep-cakep.
“Ayo bedoa!” (Maksudnya:
berdoa), ucap Esta kelas Taman 1,
lalu menarik tanganku mengajak berdoa bersama. Aku terkesima kagum. Ah! Esta, usia 4 tahun sudah dapat
mengucapkan kalimat dengan benar, air mataku berlinang haru.
“Wah... Dhela cantik sekali!” Aku memuji.
“Alhamdulillah, teima kasih’’ Jawab Dhela. Aku kaget. Dia berusia 4,5 tahun dan
sudah bisa dapat bersyukur. Wah hebat dia, aku membatin dan aku jadi malu.
“Mbak Aning, apa sebab rambut mbak Aning putih?” Tanya Rezy.
”Sebab sudah tua”. Jawabku.
“Umur berapa?” Tanya dia
lagi.
“Umur mbak Aning 60 tahun”. Dijawab oleh pak Yani.
“Oh, kapan meninggal?” Tanyanya. Aku
dan pak Yani kaget dan tertawa.
“Apa sebab Rezy bertanya kapan meninggal?” Tanya aku.
“Sebab rambut putih dan sudah tua meninggal sama simbah
akung”.
“Oh begitu? umur mbak Aning 39 tahun bukan 60 tahun pak
Yani bohong”. Rezy tampaknya
kurang puas. Keingintahuannya besar. Lalu ia bertanya lagi kepada bu Sulis wali kelasnya. Wah dia hebat, aku
kagum.
Sungguh surprise di kelas Latihan A.
“Mana bu Siti?” Tanya
anak-anak.
“Bu Siti sakit. Bobok di rumah sakit.” Aku memberi tahu.
“Suntik” Hania memperagakan pasien disuntik.
”Ya, bu Siti disuntik. Bu Siti sakit perut”. Jawab ibu Fitri.
“Bu Iti potong perut” Rivol
menunjukkan perutnya.
“Mbak, gimana cara menerangkan tentang operasi?” Tanyaku kepada salah satu rekan
guru. Aku stres dan bingung.
Tiba-tiba kulihat Rivol mengancingkan
celana karena kancing lepas. Kataku kepada Rivol.
“Rivol, ayo kemari! Lihat perut
Rivol. Mbak Aning mau memotong dan menjahitnya”. Mata anak-anak terbelalak. Mereka penasaran.
“Perut bu Siti dioperasi.” Aku memberi kata baru ’operasi’.
“Bu Siti, perut operasi”. Tiba-tiba Hania
berkata.
Kagetlah aku
karena Hania mengucapkan kalimat itu dengan
lancar.
“Kasihan bu Siti!” Anak-anak
spontan mengelus dada.
“Mbak Aying, ayam opeasi?” Tanya Yahya
spontan.
“Ayam tidak operasi tetapi disembelih.” Aku menjelaskan.
“Pelut bu Iti dalah belwana melah”. Sherina menimpali.
Kedua
telunjuk tangan Yahya saling
bertabrakan dan berkata:
“Sama ayam dayah meah.” (Maksunya darah merah).
Alhamdulillah, aku menjadi lega karena anak-anak
mengerti dan antusias mempercakapkan tema operasi.
“Aya pei jauh.” Kata Ozza. (Maksudnya pergi jauh)
“Lai (naik) pesawat.” Tambah Rohim dengan wajah sedih sambil menunjuk
ke arah gambar pesawat pias kata di
dinding.
“Aya tia (tidak) solah (sekolah).” Sambung Tisya sambil memeluk Aya.
Kulihat Aya betul-betul sedih
berpisah dengan teman-temannya. Aku terharu karena anak-anak dapat
mempercakapkan dengan runtut tentang perpisahan mereka dengan Aya. Esoknya Ozza menarik tanganku, mengajak aku melihat foto keluarga Aya di dinding.
“Aya aa (tidak) solah (sekolah). Aya pei (pergi) jauh lai
(naik) pesawat”. Kata Ozza sambil mengambil tongkat dan menunjuk
ke gambar pesawat. Dengan tangan mungilnya, Ozza
menepuk dada, wajahnya menyiratkan kesedihan. Aduh hebat. Ozza dapat menceritakan pengalamannya. Mereka berusia
rata-rata 4 tahun, betul-betul hebat!
Lagi-lagi
tentang rambutku.
“Apa sebab ambut bu Aning putih? Umu beapa tahun?” Tanya Tika kelas
3. “Umur sekarang 42 tahun.” Jawabku.
“Apakah besok umur 60 tahun meninggal? Hari apa,
tanggal berapa meninggal?” Tanya Audrey. Dia kelas 4.
“Ha..ha..ha... kamu lucu!” Aku tertawa.
“Apa sebab bu Aning tertawa?”
Tika dan Audrey saling berpandangan penasaran. Aku jelaskan kalau rambutku
sudah beruban sejak usia 12 tahun.
“Bu Aning, rambut bu Aning tidak beruban dulu?” Tanya Audrey
tidak percaya.
“Rambut bu Aning dicat dan supaya tidak meninggal.” Aku bercanda.
“Apa sebab bu Aning tidak mau meninggal?” Tanya Audrey pada Tika.
Waduh! aku
kehabisan jawaban. Akhirnya Aku berkata:
“Orang meninggal dunia sebab dipanggil Allah”.
“Ooo opa meninggal dunia sebab dipanggil Tuhan?” Audrey kurang yakin. Aku menjawab ya. Tika berkata pada Audrey:
“Kamu ha us bedoa supaya tidak meninggal. Allah tidak
memanggil.”
“Bu Aning, apakah betul Tuhan memanggil orang lalu
meninggal? Orang meninggal bersama Tuhan.” Audrey
seperti tidak yakin. Kujawab ya. Aku geleng-geleng kepala. Hebat sekali mereka
dapat berkomunikasi. Lagi pula mereka lucu, lugu tapi selalu penasaran oleh
keingintahuannya.
“Kamu jelek!” Aku
bercanda mencoba memancing Putra.
“Tidak, Puta (Putra) bagus!” Sanggah Putra yang
baru berusia 4 tahun.
“Putra jelek!” Aku
mengulang menggodanya.
“Tidaaa..k, Puta (Putra) bagus! Bu Ai (Aning) jelek!” Aku tertawa. Wah dia sudah pintar.
Ah akhirnya,
alhamdulillah kubersujud. Rasa
penasaranku oleh karena aku telah anggap remeh pembelajaran bagi anak-anak tuna
rungu menjadi sirna dan aku malah menjadi bangga. Pemberontakanku oleh rasa
kasihan karena senasib menjadikan anak-anak tuna rungu berhati matahari yang
terus bersinar. Hingga sekarang aku merasa berat meninggalkan mereka. Mereka
adalah ‘guru’ku di mana aku selalu belajar setiap
saat untuk bisa berhadapan dengan mereka. Mereka adalah investasi ‘amal’ku di mana aku selalu membagi ilmu
pada mereka. Oleh karena sepi tidak selamanya tetap sunyi, tetapi pastilah bisa
mendengar juga. Bukankah hati dan pikiran
bisa mendengar ? Begitu pun mata
dan raga pun bisa mendengar. Seperti
tanaman bunga teratai di kolam yang tidak bersuara, tumbuhlah bakal bunga dari
air ke atas, seolah menggapai langit. Dan bermekaranlah kuncup-kucup bunga
teratai. Kelopak-kelopak dan mahkota bunga teratai telentang merekah memandang alam
sekeliling sambil mengumandangkan kalimat-kalimat nan indah “Lihat ada
pesawat!” atau “Lihat orang
tersenyum memujiku!” Dan “Hi... hi... lucu katak melompat-lompat di daunku!” Dan “Ooo... wow.. pelangi
indah warnanya...” Juga, “Lihat kupu-kupu menari-nari…!” Sama halnya
kupu-kupu tidak tahu warna sayapnya tapi bunga teratai tahu betapa indahnya
dia. Seperti anak-anak tuna rungu tidak tahu betapa indahnya ragam kata oleh
kesunyian kata, tapi alam sekitar mereka tahu betapa istimewanya mereka ketika
mereka menyentuh alam lalu berucap dan tersenyum memberi kata indah. ***
Catatan:
Murni
pengalaman saya tanpa rekayasa dan tanpa dibantu dalam hal penyusunan kalimat di atas walau saya
sendiri alumni SLB/B. Begitu pun ucapan-ucapan murid-murid yang disebut di atas
tanpa rekayasa juga. Semua karena menggunakan MMR (Metode Maternal Reflektif) dan kebetulan sesuai dengan lambang
SLB/B.
Karnnamanohara adalah bunga teratai.
Naskah ini ditulis
oleh:
Marsudiyati Partamaningsih, S.Pd.
Alumna SLB/B Dena-Upakara, Wonosobo,
Angkatan 1983.
Kini Guru SLB/B Karnnamanohara, Jogja.
Dan dikirimkan
ke blog ini oleh:
Catharina Apriningsih, Yogyakarta.
Koordinator Pembantu Blog-Spot Penghiburku.
Terima kasih bu Aning untuk "kata-kata teratai" yang indah bersemi ini. Luar biasa. Saya menantikan tulisan-tulisan berikutnya. Parabens dan salam dari "markas" blog-spot Penghiburku!
ReplyDeletebagus sekali dan indah kata2 di tulisan bu/mbak Aning (sebaiknya saya sebut apa bu atau mbak?. Tunarungu ternyata bisa berbahasa dengan runtut. Yang pernah saya temui anak tunarungu berbahasa tapi kalimat/ ucapan wolak-waliking seperti pingpong he..he..he..(maaf bila menyinggung perasaan teman2 tunarungu?). Blogspot ini bagus sekali sebagai wadah apresiasi tulisan teman2nya. Semangat dan teruslah berkarya!!
ReplyDeletelucu kata2, polos sekali ungkapan..... Ekspresi lucu.... Bu Marsudiyati benar-benar jeli dan akrab dengan murid2. Weny hanya bisa berkumam....hebat keakraban guru dan murid.
ReplyDeleteTerima kasih, mbak Weny.
ReplyDeleteKepada mb Weny, trimakasih.
ReplyDeleteKepada Anonymous, trmksh komen. Ya memang tiap tunarungu berbeda dan unik... Mereka terlahir punya 2 bahasa yaitu bahasa ibu (alami) dan bahasa tuntutan masyarakat. Kami harus dan wajib belajar mengumpulkan kosa kata agar diterima masyarakat dalam berkomunikasi yg terwajibkan oleh visi dan misi majalah Melawan Sunyi Mengukir Prestasi. Trimaksih membaca blogspot ini dan mohon berpartisipasi dg mencantumkan nama ya. Trmksh
subhanallah
ReplyDeletesaya terharu membaca tulisan mbak aning. kata-katanya begitu menyentih perasaan. membuat saya belajar dari pengalaman mbak aning :) . saya ingin menjadi gadis yang indah dan kuat seperti bunga teratai. meskipun murid-murid mbak aning memiliki ke kurangan tapi mereka masih mampu untuk bersyukur :)