Entah siapa yang memulai, kita semua tidak tahu pasti.
Tetapi dalam masyarakat manusia, selalu saja ada peng-kelompok-an. Pertama-tama
dan yang paling kentara adalah peng-kelompok-an menurut jender. Yakni kelompok
laki-laki yang disebut jender satu
dan kelompok perempuan yang disebut jender
dua. Sejak jaman dahulu kala, kelompok jender satu selalu saja berlaku
tidak adil terhadap kelompok jender dua. Bahkan dalam budaya kita, pernah
terjadi, kelompok jender dua malah disamakan saja dengan barang. Hak-hak
perempuan dikerebiri dan disepelekan. Perempuan menjadi milik laki-laki dan
tugasnya adalah melahirkan anak dan melayani suami. Perempuan tidak memiliki
hak suara dan ikut saja keinginan laki-laki. Malahan kaum perempuan tidak
diperkenankan untuk bersekolah. Maka kemudian hari, muncul tokoh-tokoh
perempuan yang nekat “berkelahi”
untuk hak-hak perempuan. Kini kita selalu mendengar bahwa di mana-mana
perempuan tidak ingin lagi menjadi jender dua. Mereka menuntut persamaan hak dengan
kaum laki-laki. Lahirlah istilah yang sangat terkenal: “Kesetaraan Jender”. Meski pun demikian, para perempuan masih saja harus
tetap berjuang, karena pelecehan dan kekerasan terhadap jender dua, sepertinya
makin menjadi-jadi setiap hari.
Selain “perjuangan” jender, tanpa kita sadari,
seharusnya ada juga “perjuangan” kaum “abnormal” atau penyandang cacat fisik.
Ada bermacam-macam manusia penyandang cacat fisik: Tuli, buta, pincang, butung,
gila, gagu dan leler. Bila kaum perempuan, meski pernah dan kerap masih
ditindas oleh laki-laki, tetap nasib kaum perempuan agak lebih baik,
dibandingkan para penyandang cacat fisik. Kaum perempuan masih memiliki kelompok,
yakni jender dua. Sedangkan para penyandang cacat fisik, sejak dulu, sepertinya
tidak memiliki kelompok. Mereka bagaikan kaum “anomin” atau kelompok tanpa “jender”. Memang sudah ada banyak panti
dan sekolah khusus untuk para penyandang cacat fisik ini. Tetapi kerap terjadi,
kaum cacat fisik ini masih dipandang sebagai beban keluarga dan masyarakat. Hak-hak
mereka sebagai manusia, lebih banyak dilecehkan oleh manusia normal. Ada
pekerja “tuna rungu” misalnya, digaji lebih kecil dari para pekerja “normal”,
pada hal tugas yang dipercayakan majikan, sama berat. Dan yang lebih menyakitkan
lagi, bila para penyandang cacata fisik ini diperlakukan tidak adil oleh orang
tua atau sanak keluarga mereka sendiri. Misalkan saja, ada anggota keluarga
yang menganggur dan urusan hidup si penganggur ini harus tanggung oleh saudaranya
yang “tuna rungu”.
Prof. Dr. Muhammad Yunus, dekan
Fakultas Ekonomi dari Universitas Chittagong,
Bangladesh, meninggalkan ruang kuliah dan mendirikan bank kaum miskin untuk
para perempuan Bangladesh. Para perempuan Bangladesh yang sangat tertindas itu,
akhirnya bangkit dan menunjukkan kepada para “penindas” mereka yang adalah para “suami” mereka sendiri bahwa mereka bukan jender kedua yang bisa
dilecehkan. Pada tahun 2006, Prof. Yunus bersama bank Grameen dan para perempuan tertindas dari Bangladesh itu, menerima
hadiah Nobel Perdamaian. Prof. Yunus menulis bahwa hanya perempuan bisa menolong sesama perempuan (only woman can help woman). Saya pun
teringat ungkapan yang berbunyi: “only
poor can help poor”, alias, hanya
orang miskin bisa menolong orang miskin. Dan itu berarti pula, hanya para
penyandang cacat fisik, bisa saling membantu dalam kecacatan mereka. Maka
melalui blog-spot Penghiburku ini,
saya ingin mencatat di sini: Bersatulah
para tuna rungu! Hanya anda yang setiap hari berjuang di telaga sunyi, bisa
mengukir perestasi bagi dirimu dan teman-temanmu senasib dan seperjuangan!
(Dili, Timor-Leste, 21 Januari 2012)*** Prisco Virgo. Koordinator Utama blog-spot Penghiburku.
Saya setuju sekali dengan seruanmu, Prisco Virgo : BERSATULAH PARA TUNA RUNGU! Sangat baiklah, tuna rungu mau menolong sesama tuna rungu!
ReplyDelete