Koordinator Utama Blogspot
Penghiburku.
Kuluhun, Dili, Timor-Leste.
Filosofi kerja
ayah saya, seratus persen tidak bergeser sedikit pun dari pola pikir para
pekerja jaman industri: Barter tenaga dengan pendapatan. Jual otot untuk sesuap
nasi. Mengabdi perusahaan untuk gaji bulanan. Filosofi ini sebenarnya tipis
sekali perbedaannya dengan paradigma berpikir dari jaman agraris sebelumnya: Siapa
tidak bisa memegang pacul dan linggis, tidak usah makan. Tetapi karena ayah
saya adalah generasi pertama dari kampung kami yang mendapat pekerjaan pada “industri”
milik negara sebagai Pegawai Negeri Sipil(PNS),
maka dia dan teman-temannya yang bernasib baik digaji oleh pemerintah pada saat
itu, merasa diri lebih sedikit berprestasi dan berprestise dibanding kebanyakan
orang sekampung yang tetap setia mengolah tanah sebagai lahan usaha, alias
petani. Pada hal kalau kita lebih teliti membuat perbandingan, para petani ini justru
tidak terlalu diikat peraturan dan waktu kerja. Jadwal mengolah tanah dan “roster”
musim menaman atau pun memanen, telah dipatok oleh alam. Mereka tahu, perputaran
dan pergantian siklus alam tidak pernah ditentukan oleh manusia. Makanya mereka
tidak repot-repot mengurus surat kontrak kerja. Pendapatan mereka ditentukan
oleh kebijkan naluri membaca tanda-tanda alam dan kerajinan menata kebun. Filosofi
kerja meraka sederhana. Tanam dan sekali lagi tanam. Tanah yang pikul dan bukan
engkau yang gendong. Hasilnya terserah kemurahan alam. Sementara penghasilan
para PNS, ditentukan oleh majikan sesuai peraturan yang sangat ketat. Karena
itu para PNS tidak pernah memiliki kebebasan waktu dan kebebasan pendapatan. Besarnya
penghasilan mereka ditentukan oleh golongan dan tingkatan sesuai ijazah formal.
Dan kesejahteraan mereka, sungguh mati, malah ada di tangan para pengambil
keputusan, manusia-manusia berkuasa di perusahaan. Seorang PNS adalah pengabdi setia
semboyan 10 P: Pergi pagi, pulang petang, pikiran pusing, pinggul pegal, pendapatan pas. Dan itu semua pernah dialami ayah saya. Setelah pensiun, pendapatan
menurun, simpanan tidak ada dan hari tua penuh penderitaan, ratap tangis dan
kertak gigi. Kalau saja dulu dia seorang koruptor, tentu cerita ini akan jadi lain.
Meskipun dan
walaupun begitu, jujur, ada satu hal yang tidak pernah bisa saya lupakan dari
keuletan ayah saya. Dia seorang PNS yang gemar berkebun. Rupanya dia sadar, pendapatan
tidak seberapa seorang PNS yang tinggal di kampung dengan seorang istri dan
sepuluh orang anak, tidak selalu cukup memenuhi segala kebutuhan keluarga. Saya
dan adik-adik saya dia wajibkan pula untuk mencintai kebun. Kami tidak boleh
alpa merawat semua tanaman yang telah diusahakannya. Mulai dari sayur-mayur yang
dia semaikan pada bedeng-bedeng di halaman rumah, sampai tanaman lain seperti pisang,
tebu, jeruk dan kelapa di kebun utama. Untuk setiap kami, dia siapkan seruas
bambu, semacam celengan sederhana, dan uang hasil penjualan isi kebun, dia tabungkan
ke masing-masing ruas bambu sesuai nama masing-masing anak. Tanpa sadar,
sebenaranya ayah saya, sang PNS penganut semboyan 10 P, telah menamkan ke dalam pikiran anak-anaknya, paradigma
membangun usaha sendiri di luar orientasi yang dominan dalam masyarakat waktu
itu: menggadaikan tenaga pada perusahaan orang lain demi gaji bulanan. Pendidikan
tidak terprogram ayah saya kepada kami anak-anaknya, kini membuahkan cerita ini.
Dari sepuluh orang anaknya, hanya satu yang memilih menjadi PNS. Sisanya,
berjuang membuka usaha sendiri. Adik saya yang nomor empat pernah berceritra
kalau beberapa teman kelasnya yang kini sudah menjadi PNS, mengajaknya untuk
bergabung. Jawaban dia kepada teman-teman yang mengajaknya masuk ke lahan
paradigma PNS, sangat sederhana: “Saya tidak pernah menyepelekan pilihan anda.
Semua kerja itu luhur. Tetapi kalau kita mau jujur, gaji seorang PNS berijasah
S1, yang saya tahu, 25 kali berada di bawah penghasilan kios saya setiap
bulan.” Lalu secara kelakar dia mengatakan kepada saya bahwa tidak terlalu
bijak menyerahkan kebebasan diri kepada kertas kontrak kerja perusahan negara atau
swasta. Lebih baik memilih paradigma abad informasi yang berslogan 10 K: Kerja kreatif, kantong kembung, kita kaya, ke sana ke mari, ketawa ketiwi. Mengapa? Tidak pernah ada bentakan atasan, terpaku pada
stempel dan tanda-tangan, siap kerjakan, gaji dipotong untuk iuran sana iuran
sini. Paradigma 10 K ini membawa manusia
ke arah bebas pendapatan, bebas waktu dan paling penting, bebas pikiran. (24 April 2012)
No comments:
Post a Comment