Sebuah Cerpen Oleh Prisco Virgo
Koordinator Utama Blogspot Penghiburku
Empat bersedih dan murung karena anjing kesayangannya mati. Ayahnya telah membelikan seekor anak anjing pengganti, tetapi Empat masih belum mau makan atau disuruh melakukan pekerjaan membantu ibunya. Ibu Empat mulai tidak sabar melihat anaknya itu selalu murung. Empat mengenal sifat ibunya. Kalau suaranya mulai naik, itu berarti ibunya tidak bermain-main lagi. Dan kalau diladeni terus, rotan akan berbicara. Empat tidak mengerti. Mengapa para orang tua selalu menggunakan rotan untuk memaksakan kehendak mereka pada anak-anaknya. Karena itu dia mengalihkan perhatian ibunya dengan mendekati anak anjing baru pemberian ayahnya dan mulai mengelus-elus binatang kecil itu.
“Cocok diberi nama apa, ma’?” Tanya Empat pada ibunya.
“Terserahmulah. Ada banyak nama yang bagus untuk seekor anak anjing
seperti itu.” Balas ibunya sambil menghalau ayam-ayam yang mendekati jemuran
padi di halaman rumah. Empat menggendong anak anjingnya dan menghilang ke balik
rumpun pisang menemui teman-temannya yang sedang ramai bermain gasing di kebun
tetangga. Empat tidak berkeinginan mengambil bagian dalam permainan itu karena
tujuannya hanyalah untuk memamerkan anak anjingnya kepada teman-temannya.
Kesedihannya perlahan-lahan mulai cair ketika ada temannya berkata:
“Ajari dia bermain bola. Biar pintar seperti anjingmu yang dulu.”
“Dia masih bodok. Masih terlalu kecil.” Empat mempermainkan telinga
anjingnya.
“Siapa bilang? Binatang diajar sejak kecil. Kalau sudah besar, tidak bisa
diajar lagi.”
“Kata ayah, dia ini masih terlalu kecil. Beberapa bulan lagi.”
Anak-anak yang sedang ramai bermain gasing, bubar seketika dan lari
tunggang langgang. Empat yang tidak menyadari apa yang terjadi karena asyik
bermain dengan anak anjingnya, berteriak ke arah anak-anak yang lari mengitari
kebun ubi kayu menuju jalan raya.
“Hoi, kenapa lari semua?”
“Haruha! Haruha!” Terdengar sebuah suara berat, tepat di belakang Empat. Empat
menoleh dan mengerutkan kening. Si “kerbau” kampung yang biasa mengacaukan
permainan anak-anak, menurunkan daun pisang yang baru dipotongnya di kebun
sebelah, mendekati Empat. Sebenarnya si “kerbau” kampung itu masih kerabat
Empat juga dari pihak ayah. Umurnya empat tahun lebih tua dari Empat. Dia tidak
pernah masuk sekolah karena kedua telinganya tuli. Karena itu anak-anak kampung
selalu memperolok-olokan dia. Balasanya, si tuli itu selalu dan di mana saja,
akan mengacaukan permainan gasing anak-anak kampung. Ia melempari mereka dengan
lumpur dan membakar gasing-gasing mereka. Malah ia pernah melukai anak-anak
sekolahan itu dengan duri-duri pohon jeruk karena anak-anak itu membuat
gerakan-gerakan seperti monyet, meniru-niru bahasa isyaratnya. Dan si tuli pun
sudah tahu, mereka menjulukinya, “kerbau” kampung. Dia marah sekali karena julukan itu. Maka setiap kemunculannya, jadi penyebab ketakutan yang segera memporak-porandakan
keasyikan bermain anak-anak kampung.
Empat membuat bahasa isyarat untuk menunjukkan anak anjingnya. Si tuli
mendekati Empat dan meminta menggendong
anak anjing itu. Empat mengisyaratkan tanda tidak setuju. Tetapi si tuli tetap
mendesak. Saling merebut anak anjing pun terjadi. Tanpa sadar, pisau yang
dipegang si tuli, menggoresi pipi Empat dan darah segar mulai mengalir
membasahi wajah Empat. Si tuli menjadi panik, lalu lari meninggalkan Empat dan dari
mulutnya keluar kata-kata yang tidak dimengerti Empat. Sambil menggendong anak
anjing dengan tangan kanan, sementara
tangan kiri menutup luka goresan di pipi, Empat menangis
tersedu-sedu mendapatkan ibunya. Sang ibu berteriak histeris merangkul anaknya yang
berlumuran darah. Si ibu melarikan anaknya ke dapur dan setelah menggenggam
sejemput beras, memasukkan kunyit ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah kunyit
itu bersama beras. Kunyahan beras dan kunyit, ditempelkannya ke pipi anaknya.
Empat berteriak kepedisan. Ibu Empat berseru-seru memanggil tetangga dan
setelah mama serani Empat datang sambil berlari-lari, ibu Empat mulai mengumpat-umpat si “kerbau”
kampung. Ayah Empat yang baru pulang dari ladang untuk makan siang, sontak lupa
akan kelaparannya, lalu menggendong Empat menuju rumah si “kerbau” kampung.
Ayah si “kerbau” kampung mencoba menjelaskan kepada ayah Empat bahwa
kejadian itu tentu tidak disengaja. Apa lagi setelah melihat penjelasan si tuli
dalam bahasa isyarat dan diperjelas lagi oleh ceritra Empat. Emosi ayah Empat
tetap tidak bisa diredakan oleh semua penjelasan itu. Perkelahian fisik pun
tidak bisa dihindarkan. Tinju ayah Empat mendarat beberapa kali ke hidung ayah
si “kerbau” kampung dan darah segar pun mulai mengalir membasahi mulut, dagu
dan kamejanya. Si tuli yang merasa bahwa perbuatan yang tidak disengajanya itu
telah menyebabkan ayahnya berdarah, berlari ke hadapan ayah Empat, berlutut di
atas tanah dan memohon dalam bahasa isyarat bahwa dialah yang harus dipukul dan
bukan ayahnya. Si “kerbau” kampung pun menangis meraung-raung sambil memeluk
kaki ayah Empat. Ibu Empat yang tersentuh oleh sikap si tuli, mendekati
suaminya, mengelus punggung sang suami dan mengangkat si tuli yang masih
terisak. Si tuli memeluk ibu Empat, lalu menangis lagi sambil mengucapkan
kata-kata penyesalan yang tidak bisa diterjemahkan oleh mulut, tetapi sangat
dipahami oleh hati dan perasaan.
Ibu si tuli membawa sapu tangan yang dibasahi air hangat dan menyeka
hidung suaminya. Banyak orang kampung yang datang menonton kejadian itu, yang
mula-mula berdiri saja dari jauh, mulai mendekat dan bergabung bersama dua
keluarga yang berbantah itu. Atas bantuan beberapa orang tua, soal pun selesai.
Rumah si tuli pun mulai dipenuhi canda dan tawa. Ayah Empat memeluk kerabat
yang ditinjunya sampai berdarah itu, membisikkan sesuatu ke telinganya, lalu
keduanya tertawa. Ayah si “kerbau” kampung terus menekan berulang-ulang
hidungnya dengan sapu tangan basah. Sementara itu Empat dan si tuli sudah
bermain bersama lagi di halaman rumah, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu
pun di antara dua keluarga yang masih berkerabat itu. Kedua ibu mereka
memandang kedua anaknya sambil tersenyum. Dan satu hal penting pun terjadi ke
atas diri si “kerbau” kampung. Sejak peristiwa perkelahian antara ayahnya dan
ayah Empat, dia tidak lagi mengacaukan permaianan anak-anak sekolahan dan
anak-anak sekolahan pun tidak lagi memperolok-olokkan ke-tuli-an dan
bahasa-bahasa isyaratnya. Malah bahasa-bahasa isyaratnya pun mulai dipahami
oleh teman-teman barunya. Mereka telah menjadi sahabat sekampung. Bila jam
sekolah sedang berlangsung, si tuli berjalan mondar-mandir tidak sabar di belakang
gedung sekolah, menanti jam istirahat teman-temannya. Biasanya pada jam-jam
istirahat, dia meminta teman-temannya dari sekolahan itu untuk mengajari dia
menggunakan pinsil, melukis wajahnya sendiri pada kertas-kertas putih lepas
yang dibelikan ayahnya. Di kampung mereka belum ada sekolah untuk anak-anak
tuna rungu. (Dili,
Timor-Leste, 1 April 2012)
Cerpen itu sungguh mengharukan hatiku!
ReplyDelete