Naskah
dikirim melalui
Catharina Apriningsih.
Koordinator Pembantu Blogspot Penghiburku.
Ada
pengalaman berkesan bagi saya dan ke-empat teman saya, yang juga tuna rungu: Ayuk,
Jimmy, Momi dan Putut. Pernah kami melakukan
kunjungan ke Panti Jompo bersama Ibu
Niken. Beliau membawa kami ke ruangan isolasi, di mana terdapat para kakek dan
nenek yang tidak dapat mengurus dirinya. Ketika dekat dengan ruangan itu,
tercium bau tidak sedap dan memualkan. Mata saya sampai berair menahan rasa ingin
muntah. Begitu pula teman saya yang lain. Kami sampai terpana, terdiam sejenak,
merenung dan akhirnya kami mencoba mengikuti apa yang dilakukan Ibu Niken. Memakai sepatu boot, masuk ke
dalam ruangan itu, mengambil air dan menyirami kotoran yang menumpuk di kamar
para kakek dan nenek itu. Pekerjaan itu sungguh tidak mudah bagi kami. Tetapi
entah mengapa, akhirnya kami bisa menyelesaikannya dengan baik. Saya rasa, itu
semua hanya karena motivasi dan semangat yang diberikan oleh teman-teman KKIT.
Mereka bercerita kepada kami tentang kakek dan nenek yang mereka pungut dari
jalanan. Dan ada juga yang diambil dari keluarga, sebab keluarga mereka tidak
mempedulikannya lagi.
Pada suatu
kesempatan kunjungan dan pelayanan, teman-teman KKTI mengajak kami pergi ke
Panti Asuhan Penyandang Cacat Ganda. Di sana kami bisa melihat secara langsung,
anak-anak yang telah dibuang oleh orang tuanya sendiri. Ada yang digugurkan
tapi selamat, meski akibatnya si bayi menjadi cacat. Kami berkenalan, bermain
bersama anak-anak itu. Di ruangan lain kami bertemu dengan anak-anak yang
seumur dengan kami, yang memiliki kondisi tubuh yang memilukan hati kami. Mereka
tidur dan bermain dengan kedua tangan dan kedua kaki diikat di tiang penyangga
tempat tidurnya. Saya melihat bahwa ada gadis yang sudah berumur dan laki-laki
yang tampak kumisnya, tapi menyandang cacad mental. Air liur menetes di
mulutnya tanpa terbendung, sehingga berkali-kali para perawat harus mengelapnya.
Mereka tidak bisa makan sendiri dan juga tidak bisa mengurus diri sendiri. Kami
dibuat lebih miris lagi, ketika kami
diajak mengunjungi Panti Rehabilitasi Stres dan Narkoba. Tempatnya sederhana,
tapi orang-orang yang kami temui, berbeda dari orang normal sehari-hari yang
kami lihat. Ada tatapan kosong di mata mereka. Ada yang duduk diam saja, tapi
ada pula yang bisa berbicara, bermain, bahkan bernyanyi sambil memetik gitar.
Ketika kami masuk ke dalam ruangan, ada seorang wanita sebaya kami yang kedua
kaki dan kedua tangan diikat. Pada tubuhnya ada carut-marut bekas luka percobaan
untuk bunuh diri. Dikatakan bahwa dia mengidap penyakit Epilepsi. Jadi sewaktu-waktu, dia bisa diserang sakit kejang dan berusaha mengambil benda apa saja
untuk membuat tubuhnya terluka. Ada pemuda juga yang kedua tangan dan kakinya
diikat. Kata perawat, laki-laki itu mantan pecandu narkoba. Dia mudah marah,
suka memberontak dan berusaha kabur. Maka untuk itu, kedua tangan dan kakinya
diikat.
Pemandangan
pada tiga kali kunjungan itu, bagi kami adalah pengalaman pertama dan membuat
kami makin mensyukuri apa yang ada dalam hidup kami. Seperti teman saya yang
tuna rungu bernama Ayuk, bersyukur kendati ia mempunyai penyakit pada kedua ginjalnya
sudah dalam tahap parah. Bahkan dikatakan bahwa hidupnya tidak lama lagi. Tetapi
ia merasa heran, bagaimana ia bisa membantu membersihkan ruangan kakek dan nenek
di Panti Jompo itu. Ia juga bisa menyuapi anak-anak untuk makan di Panti Asuhan
dan membawakan makanan ke meja makan penghuni Panti Rehabilitasi Stres dan
Narkoba. Pada hal dirinya sendiri juga sedang sakit. Ia bertanya pada dirinya dan
ia seolah mendapatkan jawaban bahwa itu semua terjadi bukan karena kemauannya,
tapi kemauan Tuhan. Tuhan telah memanggil dia untuk melakukan pekerjaan yang
dikehendaki-Nya. Teman saya yang satu lagi, Jimmy. Ia sendiri merasa mata dan pikirannya
terbuka. Ia tidak menyangka ada suatu aktivitas di luar yang sangat berguna,
lebih berguna dari pada waktu kosong yang ia manfaatkan untuk bermain game,
lalu ia merasa bosan dan tidak tahu untuk apa hidup ini. Tetapi dengan ketiga
kunjungan itu, ia jadi bersemangat, mengetahui apa yang harus dilakukannya. Momi, teman saya yang lain lagi. Ketika melihat nenek-nenek di Panti Jompo, ia jadi
teringat akan neneknya sendiri. Momi
sangat bersyukur neneknya meninggal dengan damai, dirawat oleh keluarganya
sediri. Momi jadi menyesal karena terlambat
untuk memberi yang terbaik bagi neneknya. Maka Momi senang ketika berada di Panti Jompo, karena ia dapat membantu
dan memberi mereka perhatian. Momi merasa
seperti membantu neneknya sendiri. Putut, teman saya yang ke-empat, tidak
bisa melupakan ketika melihat anak-anak di Panti Asuhan cacad mental, yang
tidak bisa mengurus diri mereka sendiri. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi
pada mereka. Dia menyimpan semuanya itu dalam hati. Dia senang pada anak-anak
kecil, yang setelah makin mengenal kami, mereka selalu mengerumuni kami,
memanggil nama kami, ada yang memeluk kami dan meminta Putut menggendongnya.
Saya
sendiri juga merasa semakin dapat menerima kenyataan dalam kehidupan yang Tuhan
berikan kepada saya. Sungguh berbeda pengalaman hidup kita ini, bagi satu
manusia dengan manusia yang lain. Ada yang terlahir tanpa kasih sayang orang tua,
ada yang terlahir cacad mental sehingga tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Ada
yang punya keluarga tapi setelah semakin tua dan anak-anak tumbuh besar dan
sibuk dengan urusannya sendiri, sampai tega membuang
orang tua ke Panti Jompo. Ada yang stres dan terseret ke dalam pergaulan
bebas sehingga terkena narkoba dan kehamilan tak diinginkan, dan lain-lain. Ada
kekerasan dan penderitaan dalam kehidupan ini yang bisa kita lihat sehari-hari
di sekitar kita, di televisi dan surat kabar. Saya melihat ke dalam diri saya
dan saya rasa bukan apa-apa dibanding
mereka. Tentunya mereka yang memiliki kehidupan keras di luar, lebih kuat bertahan
hidup dari pada kita yang lain, seperti kata Ibu Teresa dari Kalkuta. Untuk itulah saya selalu melihat kelebihan
saya dari pada kekurangan saya. Ibu Niken
benar. Ketika kita melakukan sesuatu bagi orang lain, kita mengajari orang lain
untuk melakukan hal yang sama pada kita dan secara tidak langsung kita sedang
menolong Yesus, seperti apa yang dikatakan oleh kutipan ayat di atas: Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan
untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina, ini kamu lakukan untuk Aku.
Saya juga
tidak lagi merasa rendah diri. Kata-kata Ibu
Teresa, yang saya baca dari bukunya, menghibur hati dan menguatkan saya. Beliau
mengatakan bahwa kita tidak harus melakukan pekerjaan besar, tapi lakukanlah
pekerjaan kecil dan sederhana dengan cinta yang besar. Dan kesuksesan bukan terletak
pada berapa banyaknya prestasi dan karya kita, tetapi terletak pada panggilan
untuk setia. Tidak ada manusia yang mau dilahirkan susah, menderita dan
menyandang sakit atau penyakit. Untuk itulah Yesus datang menebus dosa dan
menyelamatkan kita. Belajarlah dari Yesus yang rendah hati. Ia mau menjadi
miskin dengan lahir sebagai manusia sama seperti kita. Yesus berkata: Saling mengasihilah kamu satu sama lain.
Cintailah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan
segenap akal budimu dan segenap kekuatanmu dan cintailah sesamamu manusia
seperti kamu mengasihi dirimu sendiri. ... Kesusahan sehari cukuplah untuk
sehari.
Saya tidak
ingin memikirkan lagi ke depan atau menengok ke belakang. Karena hal itu yang
membuat saya merasa kuatir, cemas dan takut dalam hidup. Tetapi saya ingin menikmati
anugerah yang Tuhan berikan pada hari ini dan saya akan melakukan yang terbaik,
mengerahkan seluruh hidup saya untuk hari ini, saat ini. Saya yakin Tuhan
mengetahui apa yang manusia pikirkan, rasakan dan perbuat dalam hidup. Saya
akan selalu mengandalkan Tuhan, jika saya tidak berharga bagi manusia atau
tidak diperhatikan. Karena apa yang dilihat manusia tidak sama dengan yang
dilihat Tuhan dan Tuhan selalu mengasihi kita, sebab betapa berharganya kita
bagi-Nya. Saya berterima kasih kepada KKIT (Kerabat
Kerja Ibu Teresa) dan terlebih kepada sosok Ibu Teresa untuk semua pengalaman dalam pelayanan bersama KKIT. Semuanya
sungguh indah dan memberi warna bagi hidup saya. Harapan saya, semoga kita bisa
membawa mereka yang merasa hampa hidupnya dan haus akan kasih sayang untuk mengenal
akan kasih dan kebesaran Tuhan. Bahwa betapa baiknya Tuhan pada manusia, terlepas
dari cobaan dan penderitaan hidup kita masing-masing. *** (Selesai)
Tentang Penulis:
Vinsensia Eka
Suwarsih.
Dipanggil Cia-Cia. Lahir di Serang, Jawa
Barat, pada tanggal 17 Oktober 1984. Masuk SLB/B Pangudi Luhur Jakarta tahun 1994 (kelas dua)
dan tamat tahun 2000.
SMPK Umum Notre Dame, Jakarta Barat.
Bersuamikan Yakobus Jimmy Chandra
Gunawan,
alumnus SLB/B Don Bosco Wonosobo angkatan tahun
1996. Teman-temannya yang tuna rungu dalam pelayanan KKIT Yogyakarta:
Selain Jimmy suaminya sendiri, masih ada juga Ayuk (Imanuela
Helantri, tamat SLB/B Dena Upakara Wonosobo, tahun 1997), Momi (Kesumo Yoga Prawiro, ST,
tamat SLB/B Don Bosco Wonosobo, tahun 2003),
dan Putut (Chris Putut Wijayanto,
tamat SLB/B Don Bosco Wonosobo).
*) Tulisan ini disarikan dari
sebuah karyanya berjudul Tuhan Memanggil
Untuk Mengasihi, yang pernah dimuat dalam
buku: TUHAN APAKAH
ENGKAU MEMERLUKAN KAKIKU HARI
INI? HARI INI KUBERIKAN KAKIKU
KEPADAMU. Kumpulan Sharing Kerabat Kerja Ibu Teresa
Indonesia (KKIT)
yang diterbitkan oleh Kerabat Kerja Ibu Teresa,
tahun 2010.
Editor: T. Krispurwana Cahyadi, SJ.
Dik Eka memang anak istimewa yg dikirimkan Allah ntuk berhijrah hati bagi semua...
ReplyDeleteKepada dik Ayuk : mbak kagum perjuanganmu dalam berbagi walau kau dalam keadaan sakit. Mbak selalu ingat kata2mu bijak walau kulihat matamu menyiratkan kesedihan karena marah atas penyakit yg harus kau bawa, kau selalu tersenyum tulus mengajari mbak ntuk wajib bersyukur...
(Mataku berlinang haru saat kuketik di sini)
Mereka adalah anak-anak Langit yang diutus Allah untuk meneruskan karya Cinta Kasih di dunia. Salut untuk mereka. Salam.
ReplyDelete