"Bolehlah hidupkan lagi Majalah Penghiburku yg pernah berjaya dan sekalian mengenang jasa baik Suster Myriam pemrakarsa adanya majalah untuk alumni itu. Dengan demikian satu sama lain tetap terjalin dengan baik. Viva Penghiburku!" (14 Januari 2012, Bernadeta Tumir)

Wednesday, May 2, 2012

KARTU PENGENAL KAUM DIFABEL TUNA RUNGU

Pada tahun 2003 yang lalu, ada seorang temanku bernama Supriyanto (bukan tuna rungu), tapi kakinya pincang disebabkan oleh penyakit polio yang dideritanya setelah lahir, mengajak saya untuk berziarah bersamanya ke Candi Hati Kudus Tuhan Yesus, di Ganjuran, Bantul. Dia belum pernah mengunjungi Candi tersebut. Sedangkan saya sudah dua kali ke sana. Maka saya bersedia menjadi pemandu jalan baginya. Berangkatlah kami pada suatu hari Minggu, menggunakan sepeda motornya. Saya membonceng di belakang karena saya belum bisa mengendarai sepeda motor. Selama kami melaju di ring road (jalan lingkar) Selatan Bantul, saya menggerakkan tangan kiri saya untuk membuat bahasa isyarat, kata-kata: "lurus" atau "belok kiri" atau "belok kanan" di samping wajah kiri temanku itu, supaya dia mengikuti arah jalan menuju Candi.

Ketika hendak membelok kiri dari ring road Selatan menuju jalan Bantul, kami kurang memperhatikan rambu-rambu lalu lintas berupa sebuah papan bertuliskan: "Belok Kiri Menurut Lampu Lalu Lintas". Kami sudah terlanjur membelok ke kiri dan melaju puluhan meter. Tiba-tiba kami dikejar oleh seorang polisi, yang juga mengendarai sepeda motor. Polisi itu memberhentikan kami dan meminta kami mengikutinya sambil memutar ke belakang, menuju pos jaga yang terletak di perempatan jalan berlampu lalu lintas itu. Kami dibawa polisi itu menghadap polisi lain yang sedang berjaga di sana. Polisi menegur dan hendak menilang temanku. Saya hanya duduk dan diam, agak jauh di belakang mereka. Polisi dan temanku itu berbicara sesaat, lalu  temanku memanggil saya untuk mendekat ke tempat mereka sedang berbicara. Temanku menjelaskan kepada saya bahwa polisi itu hendak mengetahui, apakah benar, saya seorang tuna rungu dan tidak bisa mendengar.  

Kepada polisi itu saya mengatakan: "Betul, saya tuna rungu dan tidak bisa mendengar". Tetapi polisi itu tidak percaya dengan jawaban saya itu. Di hadapannya, polisi itu meminta saya memperagakan Bahasa Isyarat yang biasanya digunakan para tuna rungu. Saya pun melakukannya, mengeja semua huruf abjad Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Nampaknya polisi masih agak ragu-ragu, namun saya berusaha menyakinkannya bahwa saya benar-benar adalah tuna rungu. Polisi meminta saya untuk menunjukkan kartu tanda pengenal, bahwa saya adalah tuna rungu. Tetapi saya tidak mempunyai kartu itu, sehingga saya tidak dapat menunjukkannya. Lantas saya bertanya kepadanya, kenapa dia tidak percaya. Polisi itu menjawab bahwa kerap mereka dibohongi oleh orang-orang yang melanggar lalu lintas. Orang-orang itu biasanya berlagak bisu dan tuli, agar bebas biaya tilang. “Sialan, tuna rungu gadungan!” Begitu umpatku dalam hati.

Syukurlah, akhirnya polisi itu menjadi percaya bahwa saya adalah tuna rungu dan tidak lagi menahan kami. Polisi itu lalu menasehati kami, agar selalu memperhatikan rambu-rambu lalu lintas. Dan Polisi itu pun menganjurkan agar sebaiknya saya memiliki kartu identitas diri tuna rungu dari organisasi tuna rungu yang diakui oleh pemerintah. Apakah kaum difabel (different ability) atau orang-orang dengan kebutuhan khusus, seperti kaum tuna rungu, perlu memiliki kartu identitas diri dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia? Apa bila perlu, maka sudah saatnya setiap organisasi tuna rungu Indonesia, mengeluarkan kartu tanda pengenal itu, demi kenyamanan anggotanya pada saat-saat kartu tanda pengenal itu dibutuhkan. Apa lagi, banyak orang normal bisa memanfaatkan keadaan kaum difabel untuk kepentingan diri mereka sendiri. *** (02 Mei 2012)

Dikirim oleh Catharina Apriningsih, Yogyakarta.
Koordinator Pembantu blogspot Penghiburku.

3 comments:

  1. Hai...dik Apri,
    Pengalamanmu akan dimuat pada MSMP, sebab ada juga beberapa pengalaman teman2ku sehubungan dengan tindakan Polisi Lalu lintas, bukan saja dialamai Tuna Rungu tetapi kenakalan teman2nya yang berpendengaran normal.... Cerita2 akan seru dan mengundang pembaca untuk merenung!
    Alangkah baiknya dik Apri masuk anggota organisasi Nasional GERKATIN (Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia)yang pasti memberi Kartu Tanda Anggota (KTA)guna perlindungan diri dan aksesibilitas (kemudahan)
    Semoga berkenan bagimu! Terima kasih....

    ReplyDelete
  2. menarik dan bermanfaat nih infonya
    senang sekali bisa mampir ke blog anda
    terimakasih banyak gan

    ReplyDelete