"Bolehlah hidupkan lagi Majalah Penghiburku yg pernah berjaya dan sekalian mengenang jasa baik Suster Myriam pemrakarsa adanya majalah untuk alumni itu. Dengan demikian satu sama lain tetap terjalin dengan baik. Viva Penghiburku!" (14 Januari 2012, Bernadeta Tumir)

Sunday, February 26, 2012

BENGKALA : DESA ORANG BISU TULI

Agustini Hasan
Alumna SLB/B
Dena Upakara,
Wonosobo, Jateng
Pernah dengar atau baca tentang desa orang-orang bisu tuli? Sebuah catatan saya temukan pada tabloid Nyata yang terbit di Jakarta, edisi 2118, bertanggal 11 Februari 2012. Catatan ini berceritra tentang sebuah desa bernama Bengkala di pulau Bali. Bengkala itulah desa orang bisu tuli. Satu-satunya desa di dunia dengan penduduk orang bisu tuli terbanyak. Mengapa? 80 % penduduk desa itu adalah orang-orang tuna rungu. Ini memang sebuah hal yang sangat unik. Jelas! Catatan itu mengatakan, kita bisa mencapai desa Bengkala, memakai kendaraan umum, 30 menit dari terminal Panarukan di Singaraja. Desa Bengkala terletak di kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Di Bengkala, penduduk bisu tuli biasanya disebut orang Kolok. Mata pencarian mereka adalah menjadi buruh tani atau kuli.

Beberapa penelitian dari dalam negeri mau pun luar negeri, pernah dilakukan untuk mengetahui, mengapa sampai bisa terjadi ledakan jumlah penduduk orang bisu tuli di desa itu. Penelitian-penelitian itu menyebut faktor genetik sebagai penyebabnya. Tetapi sampai hari ini, belum bisa dijelaskan secara ilmiah. Ada yang menyebut faktor perkawinan sedarah, sehingga ada pasasangan yang selalu melahirkan anak-anak cacat bisu tuli. Tetapi faktor ini masih dibimbangkan karena sering terjadi, ada orang tua normal yang melahirkan anak tuli atau orang tua bisu tuli, tetapi mempunyai anak-anak normal. Faktor yang terakhir adalah mitos” yang berasal dari masa pendudukan Belanda. Dikatakan bahwa orang Kolok pada zaman penjajahan Belanda, selalu berpura-pura menjadi orang bisu tuli, agar desa mereka dianggap penjajah Belanda sebagai desa yang tidak penting. Dengan demikian penduduk desa itu aman dari serangan Belanda. Pada zaman itu, penduduk desa Bengkala berbicara dengan penjajah Belanda memakai bahasa isyarat. Mereka melakukan hal kebohongan bisu tuli itu demi menyelamatkan nyawa mereka sendiri. Awalnya memang hanya berpura-pura, tetapi akhirnya mereka benar-benar menjadi bisu dan tuli. Kebenaran “mitos” ini pun diragukan dan hanya dianggap sebagai ceritra lisan karena diturunkan dari mulut ke mulut. Catatan tertulis tidak ada sama sekali.

Satu hal yang sangat disayangkan di desa Bengkala sampai hari ini adalah tidak adanya sekolah luar biasa yang dikhususkan bagi murid-murid bisu tuli. Anak-anak bisu tuli digabungkan saja dengan para murid normal. Rupanya hal ini disebabkan oleh lemahnya sumber daya manusia, kurangnya fasilitas pendukung dan belum adanya guru khusus untuk mengajari murid-murid tuna rungu. Tetapi untungnya, penduduk yang tidak bisu tuli alias berpendengaran normal, bisa berinteraksi dengan penduduk orang Kolok melalui bahasa isyarat, karena bahasa isyarat sudah dianggap hal yang biasa di Bengkala.

Satu keunikan lagi yang tidak pernah kita bayangkan adalah kemampuan orang Kolok dalam hal menari. Keahlian mereka adalah tari Janger. Dan tarian Janger orang Kolok dari desa Bengkala itu, sudah terkenal hingga ke manca negara. Maka desa Bengkala kerap dibajiri turis yang datang  untuk menonton orang Kolok menari Janger. Satu tim penari Janger terdiri dari 14 orang pria dan wanita yang berusia di antara 15 sampai 40 tahun. Meski tidak bisa mendengar, tapi harmonisasi mereka dalam mengikuti alunan musik sungguh mengagumkan. Ayunan langkah kaki-kaki mereka ketika menari sungguh kompak dan pas. Pekerjaan menari ini merupakan juga salah satu sumber penghasilan untuk orang Kolok. Untuk bisa tampil sempurna seperti itu, seorang penari Janger harus menjalani latihan tari secara rutin hampir setiap malam, selama 4 jam sampai mereka siap tampil. Semuanya itu tentu butuh latihan terus menerus. Di samping kesabaran yang tinggi dan keuletan dari para pelatih. Karena pendengaran para penari sangat terbatas. Suatu saat nanti, saya ingin berkunjung ke desa Bengkala untuk bertemu dengan orang-orang senasib seperti saya, tetapi memiliki ketrampilan menari yang sangat luar biasa. Semoga mimpi saya ini bakal terwujud. ***

Kiriman: Agustini Hasan. Jakarta.
Koordinator Pembantu blogspot Pengiburku.

3 comments:

  1. Agustin, saya catatkan di sini satu komentar dari seorang teman di Manila yang membaca artikelmu melalui link yang saya kirimkan kepadanya melalui Facebook. Ini komentarnya: "Bung Prisco, ini luar biasa. Memang sudah ada study yang semacamnya, walau unsur korelasinya masih bisa dipertanyakan.Sudah ada study tentang cara yang pura pura tapi akhirnya menjadi sungguh... ini misalnya soal pemakain lensa tertentu (lensa cekung?) ketika kita mau memandang object tertentu. kalau kita memakai lensa tersebut, kita akan melihat semua object normal (kepala ke atas dan kaki ke bawah) menjadi terbalik dengan kepala ke bawah dan kaki ke atas untk saat saat awal. setelah bebarapa lama, object yang terbalik itu menjadi normal, karena adanya penyesuaian otak terhadap hal yang terbalik itu. hal serupa bisa jadi dengan 'mitos' yang terjadi pada cerita tersebut, karena kebiasaan beraksi 'tuli' akhirnya jadi tuli benaran hehehe........pelajarannya? jangan pura pura o, nanti jadi benaran tu ahahahaha.......... Bung Prisco, cerita menarik ni ehehehehe.........

    ReplyDelete
  2. Hmmm....menarik utk kita pelajarinya! Saya sebenarnya sudah lama tahu ttg. hal itu. Temanku Tunarungu yang bekerja guru SLB/B Pembina Nasional di Singaraja, Bali pernah bercerita: pihak sekolahnya sudah berusaha mendidik anak-anak bisu tuli desa Buleleng.Di kelas anak2 bisu tuli itu ternyata tidak peduli pelajaran dan sering bolos. Para orang tuanya membiarkan anak2nya bolos karena harus bekerja di ladang untuk bertani dan beternak. Mereka belum menyadari betapa pentingnya pendidikan formal, berpikirannya masih sederhana. Mereka mengatakan bahwa bekerja bertani dan beternak itu lebih baik karena dapat memberi makan, dapat menghidupi keluarganya daripada sekolah. Anak-anak itu diperlukan sebagai tenaga kerjanya.

    Desa itu justru menjadi obyek wisata bahkan obyek penelitian yang merupakan ladang bisnis bagi para pakar dari negara asing. Semestinya kita melindungi mereka senasib sebangsa kita agar jauh dari proyek penelitiannya demi mengeruk keuntungannya!

    Temanku Tunarungu dari Jepang pernah bercerita: ada sebuah desa yang sama seperti itu di pulau kecil (maaf saya lupa nama desa dan negara mana). Mereka dahulu buta huruf kini telah menjadi warga negara yang berguna berkat kegigihan pemerintah setempat dengan bantuan organisasi Tunarungu Dunia.

    Sekian informasi tambahan.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih. Kita saling memperkaya dalam hal informasi dan pengetahuan. Itulah manfaat media ini. Salam dari Dili, Timor-Leste.

    ReplyDelete