"Bolehlah hidupkan lagi Majalah Penghiburku yg pernah berjaya dan sekalian mengenang jasa baik Suster Myriam pemrakarsa adanya majalah untuk alumni itu. Dengan demikian satu sama lain tetap terjalin dengan baik. Viva Penghiburku!" (14 Januari 2012, Bernadeta Tumir)

Friday, February 24, 2012

AKU TERKENANG SI MET

Kisah nyata ini berawal di bulan Januari tahun 1974. Pada saat itu usia kehamilanku baru memasuki bulan yang ke-3. Sebagaimana biasanya yang terjadi pada wanita dalam usia kehamilan seperti itu, saya pun mengalami aneka rasa sakit, seperti: mual, muntah, perut mules, suka makan makanan yang aneh-aneh. Pada suatu pagi, saat suamiku telah berangkat ke kantor, saya mulai sakit lagi seperti hari-hari sebelumnya. Sakit seorang wanita yang sedang hamil muda. Saya ke luar dari dalam rumah dan duduk di samping pintu dekat pendopo rumah untuk sekedar mendapat angin segar. Sementara saya bergelut dengan keadaanku, seorang pria lewat di depan rumah. Tiba-tiba saja dia berbelok dan masuk ke halaman rumah dan berjalan ke arah saya sedang duduk. Dia menggerakkan tangannya ke arah mulut dan kepalanya, lalu menunjuk ke arah perutku. Dari mulutnya keluar suatu suara yang berbunyi seperti: Me e me me met t t t.

Saya terkejut bercampur takut melihat sosoknya itu. Tubuhnya pendek dan bungkuk. Juga peranginya agak aneh. Rasa sakitku pun hilang seketika. Mungkin karena ditutupi rasa takutku. Saya baru sadar bahwa ternyata pria aneh itu, seorang bisu tuli. Rasa takut saya perlahan berkurang ketika saya melihat pandangan matanya yang mengisyaratkan keprihatinannya ketika dia melihat keadaanku. Saya mempersilahkan dia masuk ke dalam rumah. Saya tawarkan segelas teh. Dia menggelengkan kepala. Kemudian dua orang ibu tetangga datang dan langsung masuk ke dalam rumah. Tanpa menyapa saya, mereka langsung menyuruh orang bisu tuli itu untuk segera pergi dari rumahku. Malahan mereka seperti mendesak dan mengusir. Saya menyampaikan kepada kedua ibu itu bahwa, sayalah yang telah memanggil orang itu. Tanpa menghiraukan penjelasan saya, keduanya tetap mendesak agar orang bisu tuli itu untuk segera pergi. Ahkirnya, orang bisu tuli itu bangun dari duduknya dan melangkah pergi. Dia sempat menoleh beberap kali ke arahku dengan pandangan belas kasihan. Saya bisa mengerti arti pandangannya itu. Sepertinya dia masih prihatin dengan keadaanku. Tetapi saya tidak berdaya menghadapi sikap kedua ibu tetanggaku itu. Karena saya adalah warga baru di lingkungan mereka. Apa lagi, saya juga baru berapa bulan menikah. Belum terlalu memahani hidup bertetangga di tempat baru. Dan lebih lagi, saya adalah seorang pendatang yang berasal dari pulau lain. Ya, kedua ibu itu tentu hanya mau melindungi saya, pikirku. Apa lagi mereka pasti terpengaruh dengan kebiasaan masyarakat umum, yang selalu memandang orang-orang cacat sebagai pengganggu. Buktinya, kedua ibu itu mulai menasehati saya, agar saya tidak berdekatan dan bergaul dengan orang bisu dan tuli. Sebab hal itu bisa mempengaruhi anak dalam kandunganku. Malah kata mereka, nanti anak saya bisa lahir cacat seperti orang itu. Tanpa membantah nasehat mereka, saya hanya berkata dalam hati bahwa selama saya tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak baik kepada orang cacat itu, saya dan bayi saya akan baik-baik saja.

Kedua ibu itu pamit dan pergi dari rumah saya. Tetapi hati saya tetap tidak tenang membayangkan lagi ketika mereka mengusir orang bisu tuli itu. Dan rupanya suasana ini menguasai seluruh diriku sehingga mual dan sakitku yang lain-lain tidak saya rasakan sampai pagi berikutnya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekitar jam 7, pintu rumah diketuk. Suamiku pergi membuka pintu dan saya terbengong-bengong melihat lagi orang bisu tuli yang kemarin itu. Ia berbicara dengan suamiku memakai bahasa isyarat. Ia menggerakkan tangannya dan suamiku juga menjawab dengan gerakan tangan pula. Rupanya suamiku sudah lebih dahulu mengenal orang bisu tuli itu. Di tangan orang bisu tuli itu, ada dua buah mangga muda, yang katanya dia bawa untukku. Saya pun menceritrakan kejadian hari sebelumnya kepada suamiku. Suamiku agak tersinggung dan menyatakan tidak suka dengan perlakukan seperti hari kemarin itu kepada si bisu tuli itu. Melalui bahasa isyarat tangan, suamiku meminta si Met, nama yang diberikan suamiku kepada orang bisu tuli itu, agar si Met bisa selalu datang ke rumah kami. Si Met pun mengangguk tanda setuju.

Hari-hari selanjutnya, si Met sering datang ke rumah kami dan membantu meringankan banyak tugas yang harus saya kerjakan sebagai wanita hamil. Dia menyapu rumah, mencuci piring dan menimbah air dari sumur. Hal itu berlangsung dari bulan Januari sampai April tahun 1974. Selama bulan Mei sampai bulan Juli, si Met tidak pernah muncul lagi. Saya dan suami saya merasa kehilangan si Met. Tiba tiba, tepatnya tanggal 6 Agustus 1974, si Met muncul lagi sambil memikul sebuah karung, penuh berisikan pisang dan ubi. Saat itu usia kandunganku tinggal menunggu hari untuk melahirkan anakku. Saya dan suami merasa tidak perlu  menanyakan ke mana saja si Met pergi, ketika ia menghilang selama 3 bulan terakhir itu. Juga tidak perlu, kami menyanyakan di mana rumah dan kampungnya. Karena rasanya akan percuma. Kami tidak akan mendapatkan sebuah jawaban yang tepat dan pasti. Maka kami pun tidak peduli dengan semuanya itu. Tetapi ada satu hal lain yang pasti, kami benar-benar mensyukuri kehadiran si Met yang tepat waktu. Dia datang pada saat kami membutukan. Tanggal 16 Agustus 1974, tepat pada jam 14.00 sore, selamat saya melahirkan putraku. Dia sehat dan normal. Kini putraku, Bobby, sudah berusia 38 tahun. Sudah menikah dan memiliki dua anak laki laki, yang juga sehat dan normal. Apa yang dikatakan kedua ibu tentanggaku dulu itu, ternyata hanya sebuah ketakutan tidak berarti. Itu hanya anggapan umum yang tidak benar. Sebuah “pameo” atau vonis tidak beralasan yang patut dihindarkan dalam kehidupan bermasyarakat.  

Pada tahun 1977, ketika Bobby berusia 3 tahun, suamiku pindah tugas dari Kupang ke Atambua (kota dekat perbatasan dengan Timor-Leste). Sayang sekali, ketika itu Bobby kecil belum sempat mengenal si Met. Selama di Atambua, kami hilang kontak dengan si Met di Kupang. Ketika kami kembali ke Kupang pada tahun 1990, si Met tidak kami temukan lagi. Apakah mungkin si Met sudah tiada? Atau entah ke manakah Tuhan telah mengutus si Met untuk tugas-tugas lain? Kisah si Met, telah saya ceritakan kepada anak dan cucu-cucu saya. Bagi saya pribadi, sosok bisu tuli si Met, sangatlah berarti. Dalam dirinya ada hidup dan kehidupan. Pada bahasa isyarat dalam komunikasinya yang serba terbatas, tetap manusia lain bisa menemukan kesetiaan dan cinta. Terima kasih si Met. Ke mana lagi kami akan mencarimu? Meski kini engkau tidak lagi bersama kami, tetapi dalam kunjungan persahabatan ke beberapa SLB di kota Kupang, saya telah berjumpa dengan banyak "Met" yang lain. Kerinduan kami akan engkau, sedikitnya terbalaskan. Terima kasih saya juga untuk semua mereka yang telah membuka cakrawala pikirku untuk mengenal lebih dekat, teman-teman tuna rungu. Melalui tulisan kisah nyata ini, ingin saya sampaikan salamku kepadamu semua di mana saja, di seruluh dunia. ***

Kiriman: Mutiara Gajeng.
Naikoten, Kupang, Timor, NTT.

4 comments:

  1. Ibu Mutiara Gajeng yth.

    BAGUS! Mengharukan! Si Met berhati "suci" telah memberi berkah kepada keluargamu pada masa sulit.

    Dengan ini, kami redaksi yang seluruhnya Tuna Rungu mohon ijin untuk mengkopi naskah ibu Mutiara untuk dimuat dalam majalah kami. Boleh?
    Terima kasih.

    Salam dari redaksi MSMP (Melawan sunyi, mengukir prestasi".

    ReplyDelete
  2. Akan saya teruskan dulu permintaan Redaksi MSMP ke ibu Mutiara. Jawaban beliau akan saya teruskan. Terima kasih untuk penghargaan. Salam dari Dili.

    ReplyDelete
  3. Cerita tentang kisah nyata yang ditulis ibu Muti sungguh menyentuh hatiku tapi juga sekaligus membuatku sedih dengan perlakuan yg harus si Met terima dari 2 tetangga yg jahat itu padahal dia tak punya salah apa2 pd mereka hanya karena dia cacat tuli bisu. Kalau aku yg jadi si Met..wah..tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan si Met saat itu.. Tapi syukurlah si Met yg tulus telah membawa cahaya terang pd ibu Muti sekeluarga. Salam hangat dari Agustin untuk ibu Muti & juga untuk si Met yang kini berada di tempat antah berantah.

    ReplyDelete
  4. Kepada Redaksi MSMP di Yogyakarta.
    Ibu Mutiara setuju dengan permintaan redaksi untuk mengambil artikelnya ini untuk kebutuhan redaksi. Salam.

    ReplyDelete