"Bolehlah hidupkan lagi Majalah Penghiburku yg pernah berjaya dan sekalian mengenang jasa baik Suster Myriam pemrakarsa adanya majalah untuk alumni itu. Dengan demikian satu sama lain tetap terjalin dengan baik. Viva Penghiburku!" (14 Januari 2012, Bernadeta Tumir)

Friday, April 20, 2012

DIJIWAI IBU TERESA DARI KALKUTA (1)

Oleh Vinsensia Eka Suwarsih
Naskah dikirim melalui Catharina Apriningsih.
Koordinator Pembantu Blogspot Penghiburku.

Ibu Teresa dari Kalkuta, seorang biarawati kelahiran Albania (26 Agustus 1910), pendiri Kongregasi Biarawati Cinta Kasih, adalah pribadi luar biasa yang menjadi sumber inspirasi tulisan saya ini. Ibu Teresa menghabiskan seluruh hidupnya untuk melayani kaum Paria, golongan yang dianggap tidak berkasta di India. Setiap hari, selama masa hidupnya, beliau berjalan dari lorong ke lorong pada jalanan di kota Kalkuta yang luas itu, untuk memungut orang-orang miskin sekarat dan merawat mereka agar orang-orang terbuang itu, bisa meninggal dengan layak sebagai manusia. Setelah meninggal dunia (5 September 1997), Ibu Teresa diberi gelar Beata atau yang Berbahagia oleh Gereja Katolik Roma. Banyak gadis muda yang bergabung suka-rela pada Kongregasi Biarawati yang didirikannya, kini tersebar di berbagai negara di seluruh dunia untuk meneruskan karya Cinta Kasih yang telah beliau rintis. Kelompok relawan yang menjalankan pelayanan bagi kaum kecil seturut semangat Ibu Terasa, di Indonesia dikenal dengan nama: KKIT atau Kerabat Kerja Ibu Teresa. Saya adalah salah satu anggota kelompok relawan itu.

Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan, ketika Aku haus kamu memberi Aku minum, ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan, ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian, ketika Aku sakit, kamu melawati Aku, ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. … Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.

Kutipan kata-kata di atas adalah satu dari sekian kebijaksanaan dan kebajikan yang diajarkan oleh Yesus Kristus atau Nabi Isa kepada para pengikut-Nya. Kutipan ini sangat menyentuh hati saya dan membuat saya mengerti, mengapa Ibu Teresa bisa melakukan suatu karya yang sangat besar dan begitu dalam menginspirasi banyak orang di seluruh dunia. Saya sangat mengagumi setiap pilihan dan keputusan yang diambil Ibu Teresa dalam hidupnya. Ketika masih sangat muda belia, beliau memilih menjadi biarawati, meninggalkan orang tua dan tanah airnya, lalu datang ke India untuk melayani mereka yang termiskin dan mereka yang terbuang. Pilihan itu sangat sulit dan tidak mudah. Saya merasakan hal itu ketika menonton film dokumentasi tentang pelayanan Ibu Teresa kepada kaum papa itu. Bagaimana dia melayani orang yang tidak memiliki apa-apa dan mereka yang sakit. Dia menghibur mereka yang kesepian, mengambil mereka dari jalanan dan merawat mereka yang mendekati ajalnya. Saya begitu tersentuh ketika membaca cerita Ibu Teresa, tantang bagaimana dia menyusuri lorang-lorong dan jalan-jalan di Kalkuta dan mengumpulkan orang yang sedang sekarat. Dia menggendong mereka yang seluruh tubuhnya penuh belatung, berbau amis, lalu membersihkannya. Itu bagi saya adalah suatu tindakan yang mulia. Tidak ada seorang pun yang mau bersentuhan dengan orang yang sudah sekarat dan sekujur tubuhnya dipenuhi ulat yang menjijikkan. Dan hanya Ibu Teresa yang berani dan memiliki kerendahan hati yang luar biasa untuk melakukan hal itu. Dia melakukannya dengan penuh kasih, sehingga orang yang ditolongnya kerap mengucapkan kata-kata: Aku hidup seperti binatang, tetapi aku mati seperti Malaikat. Betapa mengharukan. Saya bisa merasakan hal itu, seandainya saya berada di posisi orang itu. Cukup lama saya menanti dan berharap bahwa saya bisa melakukan sesuatu yang terbaik dalam hidup saya. Saya ingin mengikuti teladan Ibu Teresa dan mensyukuri hidup. Berterima kasih untuk apa yang Tuhan beri dan apa yang Tuhan ambil. Melakukan dengan segenap hati pekerjaan kecil dan sederhana. Hasilnya terserah pada kehendak Tuhan. Apa pun yang Tuhan buat dalam hidup saya, pastilah yang terbaik.

Sejak lahir saya sudah cacat. Menyandang predikat tuna rungu. Pada usia 9 tahun, saya sudah yatim piatu. Pendidikan terakhir, hanya sampai SMP. Saya pernah melewatkan masa-masa yang sangat sulit dalam hidup saya. Rasa marah dan depresi pernah saya alami sampai harus berobat ke psikiater. Sebelum menjadi anggota KKIT (Kerabat Kerja Ibu Teresa), saya merasa tidak ada yang bisa saya lakukan dalam hidup saya. Saya tidak tahu, apa yang bisa saya berikan dari keterbatasan saya: Tuna rungu yang hanya bisa menyelesaikan pendidikan di SMP. Saya merasa diri saya sebagai orang yang gagal dan tidak berguna. Saya kecewa karena belum bisa memberikan yang terbaik untuk keluarga. Khususnya untuk tante dan om saya, yang telah merawat dan membesarkan saya seperti anak mereka sendiri. Sampai pada suatu hari, saya melihat pemandangan yang mengubah hidup saya. Ada anak-anak jalanan seumur saya, yang tidak dapat bersekolah. Mereka hidup dari mengamen dan mengemis. Bahkan ada yang makan dari mengais sampah. Mereka tidur di jalanan. Hati saya tersentuh melihat semuanya itu. Tante saya mengatakan bahwa saya jauh lebih beruntung dari pada anak-anak jalanan itu. Hidup saya berkecukupan. Ada tempat tinggal, bisa bersekolah dan melakukan apa yang saya suka. Sedangkan mereka tidak mempunyai apa-apa seperti yang saya miliki. Karena itu, tante menekankan kepada saya agar hidup itu selalu harus bersyukur, melakukan pekerjaan apa pun dengan senang hati. Apa pun pekerjaan yang ada, termasuk beban berat sekali pun, tentu dapat diselesaikan dengan baik. Dari situ, saya mencoba bangkit dan melihat kelebihan saya, sampai akhirnya saya bertemu dengan KKIT (Kerabat Kerja Ibu Teresa) di Yogyakarta. Saya sangat senang dengan kehadiran KKIT. Apa lagi melakukan pelayanan bersama mereka. *** (bersambung)

Tentang Penulis:
Vinsensia Eka Suwarsih. Dipanggil Cia-Cia. Lahir di Serang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Oktober 1984. Masuk SLB/B Pangudi Luhur Jakarta tahun 1994 (kelas dua) dan tamat tahun 2000. SMPK Umum Notre Dame, Jakarta Barat. Bersuamikan Yakobus Jimmy Chandra Gunawan, alumnus SLB/B Don Bosco Wonosobo angkatan tahun 1996. Teman-temannya yang tuna rungu dalam pelayanan KKIT Yogyakarta: Selain Jimmy suaminya sendiri, masih ada juga Ayuk (Imanuela Helantri, tamat SLB/B Dena Upakara Wonosobo, tahun 1997), Momi (Kesumo Yoga Prawiro, ST, tamat SLB/B Don Bosco Wonosobo, tahun 2003), dan Putut (Chris Putut Wijayanto, tamat SLB/B Don Bosco Wonosobo).

*) Tulisan ini disarikan dari sebuah karyanya berjudul Tuhan Memanggil
Untuk Mengasihi, yang pernah dimuat dalam buku: TUHAN APAKAH
ENGKAU MEMERLUKAN KAKIKU HARI INI? HARI INI KUBERIKAN KAKIKU
KEPADAMU. Kumpulan Sharing Kerabat Kerja Ibu Teresa Indonesia (KKIT)
yang  diterbitkan oleh Kerabat Kerja Ibu Teresa, tahun 2010.
Editor: T. Krispurwana Cahyadi, SJ.

9 comments:

  1. Ceritamu sungguh menarik dan mengharukan.
    Semua manusia sangat berharga di mata Tuhan, tanpa pandang bulu, baik yang berfisik sempurna maupun yang berkebutuhan khusus. Kini tidak ada lagi istilah cacat ya ! Yang ada adalah istilah "BERKEBUTUHAN KHUSUS" atau diffable = different ability. Ingatlah ! Yesus selalu membela mereka yang diffable ini. Bacalah Injil. Kapan-kapan saya akan menuliskannya.
    Bye ...
    Sr. Antonie

    ReplyDelete
  2. Thanks Suster.Akan saya perhatikan istilah2 ini dalam mengedit tulisan-tulisan anak2 yang dikirmkan sebelum dimuat di Blog-spot Penghiburku ini. Salam ke Wonosobo. Koordinator Utama: Prisco Virgo.
    Dili, Timor-Leste.

    ReplyDelete
  3. Hmmm....yang benar orang Cacat itu pantas disebutkan bagi pejabat yang korup! Ya tuh...cacat rohani seperti yang dikatakan oleh Romo Subanar, SJ dalam kotbahnya pada waktu MISA ADECO Jogjakarta. Tentunya banyak ragam jenis "cacat rohani" yang sangat merusakkan ciptaan ALLAH!
    Saya akan menulis lagi...agar blogspot semakin ramai diunduh...hee
    Salam dariku,
    Dita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha mbak Dita. Betul sekali. Cacat Rohani lebih parah dari cacat fisik, atau menurut Suster Antonie, "Berkebutuhan Khusus". Ok, kami tunggu tulisan mbak Dita. Ketika saya ketik komentar ini, jumlah pengundah sudah: 5.896. Viva Penghiburku! Terima kasih. Koordinator Utama Penghiburku, Prisco Virgo, Kuluhun, Dili, Timor-Leste. Salam kompak!

      Delete
    2. mengharukan...crita dari dik Eka... Memang dia berjiwa seperti Ibu Theresia selama berteman dg mb sjk awal hingga kini... Mb bener2 terharu n bersyukur berteman dgnya.
      Memang bener mb Dita "Mulut n fisik sholat/berdoa tapi hati gak sholat/berdoa".... Sekarang tunggu berita selanjutnya...

      Delete
    3. Mbak Aning baik sekali, selalu beri dukungan untuk adik-adik dan anak-anak supaya maju pantang mundur. Maju terus. Terima kasih. Salam dari Dili, Timor-Leste.

      Delete
    4. suster makasihh ya ceritanyaa,, ini cerita di sekolah suster yaa,,,, saya harusnya lebih mersa sngt2 bersyukurr,, sya masihh hdup enakk dn mmpunyai angota tubh yg lngkapp,,,dan tak smsetinya sya marah atau kesal dgn ortu maupun tuhann,, krna ku dcptakan jauh lbih bruntung dan sharusnya sya harus mampu mmliki rasa brsyukurr yg tngii atas smua yg dbrikannya,,, apalagii kta2 "aku hidup seperti binatang tapi aku mati seperti malaikat " sngat mbuat vi kgumm,,, maksihh suter maksihhhh

      Delete
    5. Novi, ini bukan tulisan Suster Antonie, apa lagi tulisan Suster Teresa. Tetapi tulisan Eka Suwarsih, anggota KKIT dari kota Yogyakarta. Baik bahwa tulisan ini bisa berguna untuk hidupmu juga. Terima kasih untuk komentarmu. Koordinator Utama Blogspot Penghiburku.

      Delete
  4. teman-teman , ada info gak untuk KKIT di SOLO ? kalau teman-teman punya info, tolong kirim email ke saya ya : t36uhk@gmail.com .. terima kasih sebelumnya
    teguh

    ReplyDelete