"Bolehlah hidupkan lagi Majalah Penghiburku yg pernah berjaya dan sekalian mengenang jasa baik Suster Myriam pemrakarsa adanya majalah untuk alumni itu. Dengan demikian satu sama lain tetap terjalin dengan baik. Viva Penghiburku!" (14 Januari 2012, Bernadeta Tumir)

Sunday, April 1, 2012

DUA SEKAWAN

Sebuah Cerpen Oleh Prisco Virgo
Koordinator Utama Blogspot Penghiburku

          Empat bersedih dan murung karena anjing kesayangannya mati. Ayahnya telah membelikan seekor anak anjing pengganti, tetapi Empat masih belum mau makan atau disuruh melakukan pekerjaan membantu ibunya. Ibu Empat mulai tidak sabar melihat anaknya itu selalu murung. Empat mengenal sifat ibunya. Kalau suaranya mulai naik, itu berarti ibunya tidak bermain-main lagi. Dan kalau diladeni terus, rotan akan berbicara. Empat tidak mengerti. Mengapa para orang tua selalu menggunakan rotan untuk memaksakan kehendak mereka pada anak-anaknya. Karena itu dia mengalihkan perhatian ibunya dengan mendekati anak anjing baru pemberian ayahnya dan mulai mengelus-elus binatang kecil itu.
“Cocok diberi nama apa, ma’?” Tanya Empat pada ibunya.
“Terserahmulah. Ada banyak nama yang bagus untuk seekor anak anjing seperti itu.” Balas ibunya sambil menghalau ayam-ayam yang mendekati jemuran padi di halaman rumah. Empat menggendong anak anjingnya dan menghilang ke balik rumpun pisang menemui teman-temannya yang sedang ramai bermain gasing di kebun tetangga. Empat tidak berkeinginan mengambil bagian dalam permainan itu karena tujuannya hanyalah untuk memamerkan anak anjingnya kepada teman-temannya. Kesedihannya perlahan-lahan mulai cair ketika ada temannya berkata:
“Ajari dia bermain bola. Biar pintar seperti anjingmu yang dulu.”
“Dia masih bodok. Masih terlalu kecil.” Empat mempermainkan telinga anjingnya.
“Siapa bilang? Binatang diajar sejak kecil. Kalau sudah besar, tidak bisa diajar lagi.”
“Kata ayah, dia ini masih terlalu kecil. Beberapa bulan lagi.”

Anak-anak yang sedang ramai bermain gasing, bubar seketika dan lari tunggang langgang. Empat yang tidak menyadari apa yang terjadi karena asyik bermain dengan anak anjingnya, berteriak ke arah anak-anak yang lari mengitari kebun ubi kayu menuju jalan raya.
“Hoi, kenapa lari semua?”
“Haruha! Haruha!” Terdengar sebuah suara berat, tepat di belakang Empat. Empat menoleh dan mengerutkan kening. Si “kerbau” kampung yang biasa mengacaukan permainan anak-anak, menurunkan daun pisang yang baru dipotongnya di kebun sebelah, mendekati Empat. Sebenarnya si “kerbau” kampung itu masih kerabat Empat juga dari pihak ayah. Umurnya empat tahun lebih tua dari Empat. Dia tidak pernah masuk sekolah karena kedua telinganya tuli. Karena itu anak-anak kampung selalu memperolok-olokan dia. Balasanya, si tuli itu selalu dan di mana saja, akan mengacaukan permainan gasing anak-anak kampung. Ia melempari mereka dengan lumpur dan membakar gasing-gasing mereka. Malah ia pernah melukai anak-anak sekolahan itu dengan duri-duri pohon jeruk karena anak-anak itu membuat gerakan-gerakan seperti monyet, meniru-niru bahasa isyaratnya. Dan si tuli pun sudah tahu, mereka menjulukinya, “kerbau” kampung. Dia marah sekali karena julukan itu. Maka setiap kemunculannya, jadi penyebab ketakutan yang segera memporak-porandakan keasyikan bermain anak-anak kampung.
Empat membuat bahasa isyarat untuk menunjukkan anak anjingnya. Si tuli mendekati  Empat dan meminta menggendong anak anjing itu. Empat mengisyaratkan tanda tidak setuju. Tetapi si tuli tetap mendesak. Saling merebut anak anjing pun terjadi. Tanpa sadar, pisau yang dipegang si tuli, menggoresi pipi Empat dan darah segar mulai mengalir membasahi wajah Empat. Si tuli menjadi panik, lalu lari meninggalkan Empat dan dari mulutnya keluar kata-kata yang tidak dimengerti Empat. Sambil menggendong anak anjing dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menutup luka goresan di pipi, Empat menangis tersedu-sedu mendapatkan ibunya. Sang ibu berteriak histeris merangkul anaknya yang berlumuran darah. Si ibu melarikan anaknya ke dapur dan setelah menggenggam sejemput beras, memasukkan kunyit ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah kunyit itu bersama beras. Kunyahan beras dan kunyit, ditempelkannya ke pipi anaknya. Empat berteriak kepedisan. Ibu Empat berseru-seru memanggil tetangga dan setelah mama serani Empat datang sambil berlari-lari,  ibu Empat mulai mengumpat-umpat si “kerbau” kampung. Ayah Empat yang baru pulang dari ladang untuk makan siang, sontak lupa akan kelaparannya, lalu menggendong Empat menuju rumah si “kerbau” kampung.
Ayah si “kerbau” kampung mencoba menjelaskan kepada ayah Empat bahwa kejadian itu tentu tidak disengaja. Apa lagi setelah melihat penjelasan si tuli dalam bahasa isyarat dan diperjelas lagi oleh ceritra Empat. Emosi ayah Empat tetap tidak bisa diredakan oleh semua penjelasan itu. Perkelahian fisik pun tidak bisa dihindarkan. Tinju ayah Empat mendarat beberapa kali ke hidung ayah si “kerbau” kampung dan darah segar pun mulai mengalir membasahi mulut, dagu dan kamejanya. Si tuli yang merasa bahwa perbuatan yang tidak disengajanya itu telah menyebabkan ayahnya berdarah, berlari ke hadapan ayah Empat, berlutut di atas tanah dan memohon dalam bahasa isyarat bahwa dialah yang harus dipukul dan bukan ayahnya. Si “kerbau” kampung pun menangis meraung-raung sambil memeluk kaki ayah Empat. Ibu Empat yang tersentuh oleh sikap si tuli, mendekati suaminya, mengelus punggung sang suami dan mengangkat si tuli yang masih terisak. Si tuli memeluk ibu Empat, lalu menangis lagi sambil mengucapkan kata-kata penyesalan yang tidak bisa diterjemahkan oleh mulut, tetapi sangat dipahami oleh hati dan perasaan.  

Ibu si tuli membawa sapu tangan yang dibasahi air hangat dan menyeka hidung suaminya. Banyak orang kampung yang datang menonton kejadian itu, yang mula-mula berdiri saja dari jauh, mulai mendekat dan bergabung bersama dua keluarga yang berbantah itu. Atas bantuan beberapa orang tua, soal pun selesai. Rumah si tuli pun mulai dipenuhi canda dan tawa. Ayah Empat memeluk kerabat yang ditinjunya sampai berdarah itu, membisikkan sesuatu ke telinganya, lalu keduanya tertawa. Ayah si “kerbau” kampung terus menekan berulang-ulang hidungnya dengan sapu tangan basah. Sementara itu Empat dan si tuli sudah bermain bersama lagi di halaman rumah, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu pun di antara dua keluarga yang masih berkerabat itu. Kedua ibu mereka memandang kedua anaknya sambil tersenyum. Dan satu hal penting pun terjadi ke atas diri si “kerbau” kampung. Sejak peristiwa perkelahian antara ayahnya dan ayah Empat, dia tidak lagi mengacaukan permaianan anak-anak sekolahan dan anak-anak sekolahan pun tidak lagi memperolok-olokkan ke-tuli-an dan bahasa-bahasa isyaratnya. Malah bahasa-bahasa isyaratnya pun mulai dipahami oleh teman-teman barunya. Mereka telah menjadi sahabat sekampung. Bila jam sekolah sedang berlangsung, si tuli berjalan mondar-mandir tidak sabar di belakang gedung sekolah, menanti jam istirahat teman-temannya. Biasanya pada jam-jam istirahat, dia meminta teman-temannya dari sekolahan itu untuk mengajari dia menggunakan pinsil, melukis wajahnya sendiri pada kertas-kertas putih lepas yang dibelikan ayahnya. Di kampung mereka belum ada sekolah untuk anak-anak tuna rungu. (Dili, Timor-Leste, 1 April 2012) 



1 comment: