"Bolehlah hidupkan lagi Majalah Penghiburku yg pernah berjaya dan sekalian mengenang jasa baik Suster Myriam pemrakarsa adanya majalah untuk alumni itu. Dengan demikian satu sama lain tetap terjalin dengan baik. Viva Penghiburku!" (14 Januari 2012, Bernadeta Tumir)

Saturday, April 21, 2012

SEKILAS RADEN AJENG KARTINI

Raden Ayu Kartini (21 April 1879 - 17 September 1904) atau yang lebih dikenal sebagai Raden Ajeng Kartini (R. A. Kartini), adalah seorang putri pribumi Jawa yang sangat menonjol dan terhitung sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Tetapi Kartini lebih dikenal sebagai pelopor di bidang hak-hak perempuan untuk para putri Indonesia. R.A. Kartini dilahirkan dalam sebuah keluarga aristokrat Jawa pada masa ketika pulau Jawa masih menjadi bagian dari koloni Belanda di Hindia Belanda. Ayah R. A. Kartini adalah Raden Mas Sosroningrat yang kemudian menjadi Bupati Jepara. Ibunya adalah istri pertama Raden Mas Sosroningrat, bernama M. A. Ngasirah, putri dari Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara, dan Nyai Haji Siti Aminah. Pada saat itu, poligami masih menjadi praktek umum di antara kaum bangsawan di pulau Jawa. Ayah R. A. Kartini, R. M.  Sosroningrat, pada awalnya adalah kepala distrik Mayong. Pada waktu itu, peraturan kolonial metentukan bahwa seorang Bupati harus menikahi seorang anggota bangsawan dan karena M. A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah untuk kedua kalinya dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah pernikahan kedua ini, Ayah kandung Kartini itu diangkat menjadi Bupati Jepara, menggantikan salah seorang kerabatnya sendiri, R. A. A. Tjitrowikromo.

R.
A. Kartini adalah anak kelima dan anak perempuan tertua kedua di keluarganya dari sebelas bersaudara, termasuk para saudara dan saudari tirinya. Ia dilahirkan dalam keluarga dengan tradisi intelektual yang kuat. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, menjadi Bupati pada usia 25 tahun. Sedangkan kakaknya, R. M. Sosrokartono adalah seorang Linguists atau ahli bahasa. R. A. Kartini hanya diperbolehkan untuk bersekolah sampai dia berusia 12 tahun. Dari antara semua mata pelajaran, dia sangat menyukai pelajaran bahasa Belanda dan dia berhasil berbicara dengan fasih dalam bahasa itu. Suatu prestasi yang tidak biasa bagi para wanita Jawa pada waktu itu. Setelah berusia 12 tahun, R.A. Kartini mulai dipingit dalam rumah, sebuah praktek umum di kalangan bangsawan Jawa, untuk mempersiapkan para anak perempuan sebelum pernikahan mereka yang ditentukan oleh orang tua. Selama berada dalam masa pingitan, seorang perempuan tidak diperkenankan untuk meninggalkan rumah orang tuanya mereka sampai mereka menikah, di mana kekuasan atas diri mereka akan dialihkan kepada para suami. Tetapi Ayah R. A. Kartini agak lebih lunak dan memberikan keluasan kepada putrinya ini, untuk belajar bordir dan kadang-kadang boleh tampil di depan umum untuk acara-acara khusus.

Selama masa pingitan itu, Kartini terus belajar dengan tekun. Karena dia bisa berbahasa Belanda dengan baik, maka Kartini memiliki beberapa teman pena di negeri Belanda. Salah satunya adalah seorang gadis bernama Rosa Abendanon dan melalui surat-menyurat, mereka akhirnya menjadi sahabat dekat. Melalui buku, surat kabar dan majalah Eropa yang dia baca, Kartini terbuka pikirannya tentang gerakan kaum feminis di Eropa dan ia bertekat untuk memperbaiki kondisi perempuan pribumi di Jawa, yang pada waktu itu memiliki status sosial yang sangat rendah. Kartini juga membaca koran-koran berbahasa Belanda yang diterbitkan di pulau Jawa, seperti De Locomotief (Semarang), yang diedit oleh Pieter Brooshooft, serta sebuah bundelan majalah (Leestrommel) yang diedarkan oleh toko-toko buku untuk para pelanggan. Bahkan Kartini juga membaca berbagai majalah budaya dan ilmiah, serta majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie. Untuk majalah yang terakhir inilah, ia mulai mengirimkan tulisan-tulisannya untuk diterbitkan. Kesan dari surat-suratnya yang dibukukan kemudian dengan nama Habis Gelap Terbitlah Terang, nampak jelas bahwa Kartini seolah membaca segala sesuatu dengan minat dan perhatian yang sangat tinggi. Sebelum berumur 20 tahun, Kartini telah membaca buku-buku yang cukup berat bobotnya dan berat isinya, seperti Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli. Lalu De Stille Kracht (The Hidden Force) oleh Louis Couperus. Karya-karya Frederik van Eeden, Augusta de Witt. Juga buku dari penulis Romantis-feminis Nyonya Goekoop, de-Jong Van Beek dan sebuah novel anti-perang oleh Berta von Suttner, Die Waffen Nieder! (Lay Down Your Arms!). Semua buku ini tertulis dalam bahasa Belanda. Perjuangan dan keprihatinan Kartini, tidak hanya dalam bidang emansipasi wanita, tapi juga dalam masalah kemasyarakatan umumnya. Ia melihat bahwa perjuangan bagi kaun perempuan untuk memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hak di mata hukum itu, hanyalah sebagian kecil dari suatu gerakan yang lebih luas.

Kartini dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang, yang sudah memiliki tiga istri. Dia menikah pada tanggal 12 November 1903. Hal ini sangat bertentangan dengan keinginan pribadi Kartini, tetapi dia setuju saja untuk menenangkan ayahnya yang sedang sakit. Ternyata suaminya tidak melarang keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah bagi kaum wanita di serambi Timur kompleks Kantor Kabupaten Rembang. Satu-satunya putra R. A. Kartini, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, yakni pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun. Ia dimakamkan di Desa Bulu, Rembang. Terinspirasi oleh contoh hidup dan perjungan Kartini, keluarga Van Deventer mendirikan Yayasan R. A. Kartini untuk membangun sekolah-sekolah bagi kaum perempuan di pulau Jawa. Sekolah Kartini di Semarang akhirnya dibangung pada tahun 1912, diikuti oleh sekolah-sekolah perempuan lain di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Pada tahun 1964, Presiden Sukarno mengumumkan bahwa hari lahir R. A. Kartini, tanggal 21 April, disebut sebagai 'Hari Kartini' dan dijadikan hari libur Nasional di Indonesia. Keputusan ini pernah menuai kritik. Para pengeritik mengusulkan bahwa Hari Kartini seharusnya dirayakan dalam hubungannya dengan Hari Ibu Indonesia, yaitu tanggal 22 Desember. Dengan demikian, pengangkatan R. A. Kartini sebagai Pahlawan Nasional akan menaungi juga semua perempuan lain, yang seperti  R. A. Kartini, telah juga ikut melawan penjajah tanpa senjata. Sebaliknya, mereka yang pro tanggal 21 April sebagai Hari Kartini, berpendapat bahwa Kartini tidak hanya seorang feminis yang ditinggikan statusnya di Indonesia, tetapi dia juga seorang adalah seorang tokoh nasionalis, yang dengan ide-idenya, ikut berjuang atas nama bangsanya dalam perjuangan nasional untuk Kemerdekaan. Jadi tidak perlu digabungkan dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember. ***  (Sumber bahan: Wikipedia. Alihbahasa: Prisco Virgo*)

*) PRISCO VIRGO
Kuluhun, Dili, Timor-Leste.
Koordinator Utama blog-spot Penghiburku.

2 comments:

  1. Ibu Kartini sungguh hebat! Dalam usia mudanya telah menyumbangkan jasa besarnya untuk emansipasi (persamaan hak) perempuan Indonesia.
    Kita jangan jadi perempuan BAHENOL (BAdan HEbat Namun Otak Lemah). Otak Lemah itu lemot (LEmah OTak), telmi (TELat MIkir). Hati-hati, jangan sampai sakit atau hilang ingatan! Kita selalu ingatlah jasa pahlawan yang telah turut memudahkan hidup kita. "TERIMA KASIH, IBU KARTINI"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Banyak orang ternama yang punya jasa untuk bangsanya, ternyata mati muda. Saya ingat Cornel Simanjuntak, komponis beberapa lagi Kebangsaan Indonesia, meninggal dalam usia 23 tahun. Temannya si penyair Binatang Jalang, Chairil Anwar, juga mati muda. Sementara para koruptor biasanya berumur panjang. Hahaha... Terima kasih Apri, untuk komentarmu yang heroik ini!

      Delete