"Bolehlah hidupkan lagi Majalah Penghiburku yg pernah berjaya dan sekalian mengenang jasa baik Suster Myriam pemrakarsa adanya majalah untuk alumni itu. Dengan demikian satu sama lain tetap terjalin dengan baik. Viva Penghiburku!" (14 Januari 2012, Bernadeta Tumir)

Tuesday, April 24, 2012

10 P DAN 10 K

Oleh Prisco Virgo
Koordinator Utama Blogspot Penghiburku.
Kuluhun, Dili, Timor-Leste.

Filosofi kerja ayah saya, seratus persen tidak bergeser sedikit pun dari pola pikir para pekerja jaman industri: Barter tenaga dengan pendapatan. Jual otot untuk sesuap nasi. Mengabdi perusahaan untuk gaji bulanan. Filosofi ini sebenarnya tipis sekali perbedaannya dengan paradigma berpikir dari jaman agraris sebelumnya: Siapa tidak bisa memegang pacul dan linggis, tidak usah makan. Tetapi karena ayah saya adalah generasi pertama dari kampung kami yang mendapat pekerjaan pada “industri” milik negara sebagai Pegawai Negeri Sipil(PNS), maka dia dan teman-temannya yang bernasib baik digaji oleh pemerintah pada saat itu, merasa diri lebih sedikit berprestasi dan berprestise dibanding kebanyakan orang sekampung yang tetap setia mengolah tanah sebagai lahan usaha, alias petani. Pada hal kalau kita lebih teliti membuat perbandingan, para petani ini justru tidak terlalu diikat peraturan dan waktu kerja. Jadwal mengolah tanah dan “roster” musim menaman atau pun memanen, telah dipatok oleh alam. Mereka tahu, perputaran dan pergantian siklus alam tidak pernah ditentukan oleh manusia. Makanya mereka tidak repot-repot mengurus surat kontrak kerja. Pendapatan mereka ditentukan oleh kebijkan naluri membaca tanda-tanda alam dan kerajinan menata kebun. Filosofi kerja meraka sederhana. Tanam dan sekali lagi tanam. Tanah yang pikul dan bukan engkau yang gendong. Hasilnya terserah kemurahan alam. Sementara penghasilan para PNS, ditentukan oleh majikan sesuai peraturan yang sangat ketat. Karena itu para PNS tidak pernah memiliki kebebasan waktu dan kebebasan pendapatan. Besarnya penghasilan mereka ditentukan oleh golongan dan tingkatan sesuai ijazah formal. Dan kesejahteraan mereka, sungguh mati, malah ada di tangan para pengambil keputusan, manusia-manusia berkuasa di perusahaan. Seorang PNS adalah pengabdi setia semboyan 10 P: Pergi pagi, pulang petang, pikiran pusing, pinggul pegal, pendapatan pas. Dan itu semua pernah dialami ayah saya. Setelah pensiun, pendapatan menurun, simpanan tidak ada dan hari tua penuh penderitaan, ratap tangis dan kertak gigi. Kalau saja dulu dia seorang koruptor, tentu  cerita ini akan jadi lain.

Meskipun dan walaupun begitu, jujur, ada satu hal yang tidak pernah bisa saya lupakan dari keuletan ayah saya. Dia seorang PNS yang gemar berkebun. Rupanya dia sadar, pendapatan tidak seberapa seorang PNS yang tinggal di kampung dengan seorang istri dan sepuluh orang anak, tidak selalu cukup memenuhi segala kebutuhan keluarga. Saya dan adik-adik saya dia wajibkan pula untuk mencintai kebun. Kami tidak boleh alpa merawat semua tanaman yang telah diusahakannya. Mulai dari sayur-mayur yang dia semaikan pada bedeng-bedeng di halaman rumah, sampai tanaman lain seperti pisang, tebu, jeruk dan kelapa di kebun utama. Untuk setiap kami, dia siapkan seruas bambu, semacam celengan sederhana, dan uang hasil penjualan isi kebun, dia tabungkan ke masing-masing ruas bambu sesuai nama masing-masing anak. Tanpa sadar, sebenaranya ayah saya, sang PNS penganut semboyan 10 P, telah menamkan ke dalam pikiran anak-anaknya, paradigma membangun usaha sendiri di luar orientasi yang dominan dalam masyarakat waktu itu: menggadaikan tenaga pada perusahaan orang lain demi gaji bulanan. Pendidikan tidak terprogram ayah saya kepada kami anak-anaknya, kini membuahkan cerita ini. Dari sepuluh orang anaknya, hanya satu yang memilih menjadi PNS. Sisanya, berjuang membuka usaha sendiri. Adik saya yang nomor empat pernah berceritra kalau beberapa teman kelasnya yang kini sudah menjadi PNS, mengajaknya untuk bergabung. Jawaban dia kepada teman-teman yang mengajaknya masuk ke lahan paradigma PNS, sangat sederhana: “Saya tidak pernah menyepelekan pilihan anda. Semua kerja itu luhur. Tetapi kalau kita mau jujur, gaji seorang PNS berijasah S1, yang saya tahu, 25 kali berada di bawah penghasilan kios saya setiap bulan.” Lalu secara kelakar dia mengatakan kepada saya bahwa tidak terlalu bijak menyerahkan kebebasan diri kepada kertas kontrak kerja perusahan negara atau swasta. Lebih baik memilih paradigma abad informasi yang berslogan 10 K: Kerja kreatif, kantong kembung, kita kaya, ke sana ke mari, ketawa ketiwi. Mengapa? Tidak pernah ada bentakan atasan, terpaku pada stempel dan tanda-tangan, siap kerjakan, gaji dipotong untuk iuran sana iuran sini. Paradigma 10 K ini membawa manusia ke arah bebas pendapatan, bebas waktu dan paling penting, bebas pikiran. (24 April 2012)           

No comments:

Post a Comment