"Bolehlah hidupkan lagi Majalah Penghiburku yg pernah berjaya dan sekalian mengenang jasa baik Suster Myriam pemrakarsa adanya majalah untuk alumni itu. Dengan demikian satu sama lain tetap terjalin dengan baik. Viva Penghiburku!" (14 Januari 2012, Bernadeta Tumir)

Tuesday, January 31, 2012

SUKA DUKA GURU ANAK TUNA RUNGU


Di awal-awal menjadi guru anak-anak tuna rungu, aku betul-betul grogi dan agak stress. Mengajar anak-anak tuna rungu ternyata sulit minta ampun. Terutama mengajari mereka bahasa Indonesia, walau aku sendiri tuna rungu. Sebelumnya aku pernah menjadi guru ketrampilan bagi napi di penjara, aku tidak mengalami kesulitan, malah diberi tantangan untuk selalu menyadarkan para napi untuk bertaubat dan malu pada diri sendiri. Juga pernah menjadi guru ketrampilan sukarelawan bagi anak-anak jalanan di rumah singgah dan tidak mengalami kesulitan. Aku menjadi guru mereka dan tidak merasakan adanya tantangan apa pun karena sudah banyak sukarelawan yang menangani mereka.

Menjelajah ke berbagai SLB di Jogja untuk melihat kegiatan pembelajaran anak-anak tuna rungu. Tuh lihat Darsih anak pinter. Rajin belajar, kata ibu Nar dengan bangga sambil menunjuk ke arah Darsih. Ketika ibu Nar pergi, sengaja aku menunjukkan tulisan daun di papan tulis dan bertanya: Apakah kamu pernah melihat daun?. Kagetlah aku karena ternyata Darsih tidak tahu. Aku tak percaya! Dia kelas IV SDLB, koq tidak tahu? Dia bisa menyalin tulisan dari papan tulis ke buku catatannya. Kucoba lagi masuk ke kelas II SMPLB, pada saat pelajaran bahasa Inggris. Kulihat seorang siswa menyalin catatan bahasa Inggris ke papan tulis, sedangkan gurunya menulis sambil merokok. Aku beranikan diri menulis di papan tulis: Hallo how are you? Anak-anak malah bengong. Dahiku mengernyit, mengapa anak-anak bengong? Apa karena aku orang asing yang berani masuk kelas dan menulis ke papan tulis mereka? Entahlah? Aku mencoba memperagakan bahasa isyarat: Hallo how are you? Aduh, pusiiing! Anak-anak malah tidak merespon untuk menjawab. Ayo jawab, siapa tahu? Tanyaku. Ternyata mereka tidak tahu dan hanya bisa menyalin tulisan di papan tulis itu ke buku catatan mereka. Peristiwa itu membuat hatiku memberontak melihat kenyataan anak-anak tuna rungu tidak seperti yang aku alami semasa aku bersekolah di SLB. Duh Gusti, apa yang harus aku lakukan untuk anak-anak tuna rungu agar mereka tidak sekedar menjadi siswa foto copy di saat mengikuti pelajaran di sekolah?

Mengajarkan pelajaran bahasa Indonesia untuk lima anak tuna rungu beda kelas dari kelas 2 sampai kelas 5 SDLB di rumah yang kebetulan tetanggaku satu perumahan. "Ayo jawab pertanyaan!" Kataku sambil kutunjuk nomer pertanyaan di bawah bacaan pada buku PR, mau pun buku paket kepada Anin siswa kelas 5 SDLB. Dia berusaha mencari kalimat pertanyaan yang persis ada di bacaan sampai lama sekali mencari. Aduuuh bagaimana caranya? Aku hampir putus asa! Kepalaku mau pecah! Dia bisa membaca bacaan, tetapi belum bisa memahami isi bacaan itu, membuat aku semakin sedih. Tuh salah! Aku memberi koreksi pada jawaban di buku PR. Dia malah membantah dengan bahasa isyarat, Guru betul bilang. Kupikir memang aku benar, tetapi malah dia marah : Bukan tuh betul! Kamu salah besuk bilang guru bilang(sambil menunjuk jawabannya),  lalu  dia pergi dan masuk kamar. Aku mengernyit penuh tanda tanya. Maksudnya apa, aku mengikuti masuk kamarnya dan berusaha bertanya kepada Anin, tetapi ditolaknya. Tiga hari kemudian dia pindah sekolah mengikuti tugas orang tuanya. Sejak peristiwa itu aku semakin penasaran dan ikut meremehkan cara mengajar gurunya. Begitulah anak tuna rungu, diajari agar bisa berbicara, malah membuat orang yang diajak bicara jadi bingung. Kata-kata yang diucapkan mereka seperti teka-teki, tidak tau maksud apa yang dimauinya.

Duduk menunggu mau menemui kepala sekolah, seorang siswa kelas 6 SDLB masuk langsung berkata, gunting, sambil tangannya mengisyaratkan gunting kepada guru yang menemaniku. Gurunya memuji bahwa dia pinter bicara. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa memang anak ini pintar mengucapkan kata gunting saja, atau kata-kata lain juga selain kata gunting? Bisa bicara tapi komunikasi bisa atau tidak? Kucoba membantu memperbaiki ucapan ayo berkata permisi, bolehkah saya pinjam gunting? Malah gurunya menyangkal dia bisa bicara sambil menepuk punggungnya bangga. Dengan pandangan mata, aku lihat dia bingung, mau ikut ucapan gurunya atau aku, tamu sekolahnya. Bisa ngomong”, katanya sambil dengan bangga dia memperagakan bahasa isyarat. Aku bertanya, Kamu kelas berapa? Dia malah mengangkat bahu, tidak tahu apa yang kutanyakan. Aduh pusing! Aku mencoba mengulangi pertanyaanku lagi, tetapi kelihatnya dia sepertinya bingung. Setelah beberapa saat, aku mencoba memperagakan hitungan jari untuk membahasakan maksud pertanyaanku, barulah dia merespon menjawab bisu, sambil menunjukkan enam jari tangan. Mungkin maksud dia: “Aku kelas enam”. Setelah itu barulah aku mengerti. Katanya bisa ngomong, nyatanya masih tetap bisu!
      
Mengapa siswa tuna rungu menjadi foto copy, alias diajari bicara satu kata satu kata saja dan tidak sebuah kalimat? Mengapa budaya komunikasi menjadi bisu? Ini yang membuat aku semakin penasaran. Lalu aku berkenalan dengan teman yang pernah mengajar di SLB tuna rungu yang metode pembelajarannya mirip semasa aku bersekolah di SLB tuna rungu. Kami berteman dan mempunyai keinginan yang sama untuk membimbing anak-anak tuna rungu agar mereka bisa berbahasa Indonesia dan berkomunikasi dengan baik. Tolong kamu ganti mengajar di kelas latihan”, pinta ibu Milah saat dia dipanggil untuk menerima tamu. Aku berdiri di depan dua belas siswa usia antara 1,8-4 tahun. Mereka duduk manis membentuk setengah lingkaran. Keringatku bercucuran dan grogi. Rasanya mulutku capek mengulang-ulang ucapan yang sama dan pelan-pelan sekali. “Bu, capek! Pipiku rasanya mau kram dan rahang ini berat untuk bergerak, kataku kepada ibu Milah. Dia malah tertawa. Lho kalau ngobrol dengan orang lain, koq tidak capek ya? Kata bu Milah lagi. Bu, tapi beda koq bu. Kataku cemberut dan mau putus asa. Keesokan harinya aku coba lagi, tetapi malah tambah stres karena anak-anak semaunya sendiri. Ada yang menangis belum berhenti-berhenti, ada yang rebutan mainan, ada yang jalan-jalan wira-wiri dan tidak mau duduk. Pokoknya sikap mereka tidak pernah tenang selama proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) berlangsung. Hal ini membuat aku stres dan grogi. Aku berusaha mengingat masa kecilku, ketika diajari bicara oleh Sr. Henricia yang kocak dan lucu, membuat kami murid-muridnya tertarik. Ayo naik motor! Kataku mengajak, sambil bibir menggerakkan gerakan cepat rabanan brr...., menirukan bunyi motor dan tangan menirukan gerakan stang motor. Anak-anak antusias dan mau menirukan sambil berjalan mengelilingi kursi setengah lingkaran. Hatiku pun menjadi lega. Anak-anak minta lagi dan mau menirukan rabanan. ***

Naskah ini ditulis oleh:
Marsudiyati Partamaningsih, S.Pd.
Alumna SLB/B Dena-Upakara, Wonosobo, Angkatan 1983.
Kini Guru SLB/B Karnnamanohara, Jogja.
Dan dikirimkan ke blog ini oleh:
Catharina Apriningsih, Yogyakarta.
Koordinator Pembantu Blog-Spot Penghiburku.

8 comments:

  1. Terima kasih ibu guru untuk tulisan yang luar biasa ini. Karena agak panjang tulisan aslinya, maka saya memenggal tulisan ibu jadi dua artikel. Biar lebih pendek agak teman-teman penyandang kesulitan mendengar bisa menangkap pesannya dengan lebih mudah. Tulisan kedua akan saya muat setelah yang satu ini. Proficiat. Salam dari Dili, Timor-Leste. Viva Penghiburku!

    ReplyDelete
  2. Bravo! Bagus sekali pengalaman Mbak Aning itu! Semoga para guru tidak membiarkan banyak "murid fotocopy" yang asal-asalan menyalin tulisan pelajaran atau asal meniru tanpa memahami artinya, nanti jadi "bangsa fotocopy", haha...

    ReplyDelete
  3. Mbak Aning nanti lihat lagi ya... Aku edit tulisanmu jadi dua artikel: 1. Suka Duka Guru Anak Tuna rungu. 2. Pelangi Kata Pada Bunga Teratai. Dan aku dapat sms dari teman-teman juga yang memuji tulisan mbak Aning, "Pelangi Kata Pada Bunga Teratai". Percapakan yang sangat polos dan menggugah bersama anak-anak didik. Terima kasih sekali lagi dan salam dari Dili, "markas" Penghiburku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. trimakasih.... Tulisan pada Pelangi....dah dibacakan murid2ku. Mereka tertawa mengingat masa kecil mereka. Kata mereka bu Aning lucu....he..he..he..

      Delete
  4. trimakasih... Tulisan pada "Pelangi kata Pada Bunga Teratai" dah dibaca murid2ku. Mereka tertawa mengingat masa kecil mereka dan mereka bilang bu Aning lucu dan ada2 aja he..he..he..

    ReplyDelete
  5. ooh...itu bu Aning ya? Dia dulu guruku. Aku kagum. Dia pintar dan lucu. Aku suka walaupun sering dimarahi kalau aku gak paham. Aku kaget melihat dan membaca. Ternyata bu Aning pandai menulis dan menggambar. Sekarang aku kelas X SMA. Dulu dia mengajar les sejak aku kls 8 sampai lulus SMP. Aku kangen bu Aning.

    ReplyDelete
  6. wow Vina gimana kabar? Sekarang kamu di SMA mana? Kamu juga pintar bu Aning bangga... Jauh dimata dekat di hati ya...OK?!?!?! SEMANGAT!!

    ReplyDelete
  7. tulisan dan gambar bu/mbak Aning bagus sekali begitupun tulisan teman2nya juga bagus walau sederhana. Ternyata tunarungu bisa menulis. Teruskan berkarya....!!!

    ReplyDelete