"Bolehlah hidupkan lagi Majalah Penghiburku yg pernah berjaya dan sekalian mengenang jasa baik Suster Myriam pemrakarsa adanya majalah untuk alumni itu. Dengan demikian satu sama lain tetap terjalin dengan baik. Viva Penghiburku!" (14 Januari 2012, Bernadeta Tumir)

Thursday, February 2, 2012

PESONA KATA DI TELAGA SUNYI


Dalam cerpen saya yang berjudul, “Kerbau Dungu”, yang pernah saya muat di akun facebook, saya berceritra tentang seorang anak tuna rungu yang berasal dari kampung saya, Oelolok, di pulau Timor, NTT. Pada saat itu saya masih SD. Ketika saya dan teman-teman yang berpendengaran normal masuk ke kelas, si anak tuna rungu ini hanya bisa bermain-main di halaman sekolah. Kerap ia tergoda untuk mengganggu dari kelas ke kelas. Karena sisi depan dinding sekolah kami terbuat dari bilahan bambu setinggi satu meter, maka sering ia mendongakkan kepala ke dalam kelas lewat dinding itu. Atau ia tunjukkan tangannya dan membuat bahasa isyarat yang dia ciptakan sendiri. Anak-anak dalam kelas selalu terganggu. Maka berkali-kali ia diusir oleh guru-guru kami, tetapi ia selalu kembali lagi. Karena ia dilahirkan tuli, maka ia sama sekali tidak bisa berbicara dan hanya mengeluarkan bunyi-bunyi suara tidak jelas. Bahasa isyarat yang ia gunakan pun kerap tidak bisa kami pahami. Maka ia sering dicap dan diolok-olok sebagai “kebau dungu” oleh anak-anak normal di sekolah saya dulu itu. Suatu tindakan yang sama sekali tidak terpuji pada saat itu. Tetapi itulah kenyataannya. Karena di daerah saya, bahkan hingga hari ini, belum ada sekolah khusus untuk untuk anak-anak tuna rungu. Andaikan saja kalau ia bisa membaca dan menulis, tentu ia tidak harus menyandang julukan yang tidak bagus itu. Ia tentu bisa juga merasakan dan mengalami apa itu “pesona kata di telaga sunyi.”

Ketika saya membaca makalah Dita Rukmini berjudul: Bisindo, Sebuah Aset Budaya Bangsa Indonesia dalam majalah tuna rungu, Melawan Sunyi Meraih Prestasi edisi September 2011, tentang bahasa isyarat, barulah saya tahu bahwa bahasa isyarat itu berbeda dari bangsa ke bangsa, negara ke negara dan bahkan dari suku ke suku. Dan bila bahasa isyarat itu sudah menjadi bahasa isyarat Nasional sebuah Negara, bahasa isyarat itu perlu dipahami dan dipelajari. Bukan saja oleh kaum yang berkesulitan mendengar, tetapi juga oleh orang-orang normal yang mendengar. Ini suatu informasi mahal bagi saya pribadi sebagai orang normal. Dan justru informasi mahal ini saya dapatkan dari sebuah majalah yang dikelola dan diterbitkan oleh orang-orang penyandang kesulitan mendengar. Maka di sini saya ingin mengatakan bahwa kegiatan membaca itu bagaikan menimba “pesona kata di telaga sunyi.” Karena ketika membaca, kita tidak perlu berbicara. Ketika membaca, kita tidak perlu menonton. Ketika membaca, kita tidak perlu menari. Ketika membaca, kita tidak perlu berlari. Tetapi ketika membaca, mata, hati dan pikiran kita, diam-diam menyantap informasi penting bagi kebutuhan jiwa kita. Informasi kita bertambah, pengetahuan kita menumpuk dan kita tidak perlu ketinggalan berita penting tentang banyak hal berguna yang terjadi di sekitar kita. Bagi orang-orang normal, bisa saja telinga mereka menjadi perekam informasi. Tetapi tidak semua percakapan sehari-hari yang didengar telinga, adalah ilmu dan pengetahuan. Maka orang normal pun perlu membaca. Apa lagi anak-anak tuna rungu yang tidak bisa mendengar. Maka membaca bagi manusia adalah salah satu jalan terbaik untuk menambah informasi dan pengetahuan. Tidak pilih-pilih, entah dia orang mendengar atau dia orang tuli, alias tuna rungu.

Pada rubrik Suara Alumni dalam majalah Melawan Sunyi Meraih Prestasi edisi September 2011, dalam tulisannya berjudul “Buat Apa Baca?”, Meilani Wulandari alias Meilan mengatakan: “Tuna rungu mustahil mendapatkan informasi dari radio. Mata lelah membaca bibir pembawa berita televisi. Bahkan dari orang-orang normal pendengar di sekitar kita, belum tentu mau memberi informasi secara lengkap. Oleh karena itulah … kita harus mengejar ketertinggalan informasi … HANYA dapat diperoleh dengan MEMBACA!” Sekali lagi saya mau katakan di sini bahwa ajakan Meilan ini pun, tidak lain adalah untuk menimba “pesona kata di telaga sunyi”. Meilan menutup tulisannya itu sambil menegaskan: “Betapa penting MENBACA. Semakin banyak membaca, semakin luas wawasan!” You are extremely right, Meilan.

Banyak terima kasih kepada Suster Antonie Ardatin, PMY dan Ibu Dita Rukmini yang telah merestui pemuatan scan cover depan dan belakang majalah Melawan Sunyi Mengukir Prestasi edisi September 2011, sebagai ilustrasi tulisan saya ini. Kepada mbak Apri di Yogyakarta, yang telah mengusahakan scan cover  dan beberapa artikel yang saya kutip dalam tulisan ini, saya hanya bisa bilang, matur nuwun sanget. Dan kepada teman-teman penyandang kesulitan mendengar di seantero jagat ini, majalah Melawan Sunyi Mengukir Prestasi adalah karya besar dan indah untuk perkembangan inteletualitasmu. Menulislah untuk “dia” dan bacailah “dia”. Kata-kata yang diucapkan akan lenyap. Tetapi kata-kata yang tertulis akan tetap bergema! ***

Dili, Timor-Leste, 02-02-2012
Prisco Virgo. Koordinator Utama Blog-Spot Penghiburku.

4 comments:

  1. Puji syukur Tuhan dan para penolong kita, sehingga kita para alumni kini sudah dapat membuat bahasa isyarat, membaca, berbicara, dan menulis. Sebagai sarana komunikasi kita antar tuna rungu dan dengan non tuna rungu.
    Marilah kita suka sekali membaca dan menulis untuk blog "Penghiburku", majalah "Melawan Sunyi, Mengukir Prestasi".
    Di sinilah kita dapat saling memberi penghiburan..

    ReplyDelete
  2. You benar, mbak Apri. Dan yang senior tentu perlu membimbing yang yunior. Salam dari "markas" Penghiburku di Dili, Timor-Leste.

    ReplyDelete
    Replies
    1. teringat aku wkt di SD umum sblm ke SLB.B Dena Upakara tidak naik 3x. Aku dikatakan bledug (bodoh), budeg (tuli) n wong edan krn tertawa sendiri (emang ikut2an ktawa tp gk nyambung).. krn memang gak tahu.... pokoknya senang klw gk naik krn senang dpt teman baru....malah diejek... Aku gk tahu istilah2 yg dipercakapkan org2 di sekitar krn tunarungu blm brbahasa.... Masuk ke dunia bahasa di SLB.B DU barulah tahu istilah...dan aku tertawa mengingat masa lalu he,,he..he..

      Delete
  3. Pengalaman yang "kecut" tetapi menyenangkan juga. Hahaha...

    ReplyDelete