Saya terkejut bercampur
takut melihat sosoknya itu. Tubuhnya
pendek dan bungkuk. Juga
peranginya agak aneh. Rasa
sakitku pun hilang seketika. Mungkin
karena ditutupi rasa takutku. Saya baru sadar
bahwa ternyata pria aneh itu, seorang
bisu tuli. Rasa takut saya
perlahan berkurang ketika
saya melihat pandangan matanya yang mengisyaratkan
keprihatinannya ketika dia melihat
keadaanku. Saya mempersilahkan
dia masuk ke dalam
rumah. Saya tawarkan
segelas teh. Dia menggelengkan kepala. Kemudian dua
orang ibu tetangga datang dan
langsung masuk ke dalam rumah. Tanpa menyapa saya,
mereka langsung menyuruh orang bisu tuli itu untuk segera pergi dari rumahku. Malahan mereka seperti mendesak dan mengusir. Saya
menyampaikan kepada kedua ibu itu bahwa, sayalah
yang telah memanggil orang itu. Tanpa menghiraukan
penjelasan saya, keduanya tetap mendesak agar orang bisu tuli itu untuk
segera pergi. Ahkirnya, orang
bisu tuli
itu bangun dari duduknya dan melangkah pergi. Dia sempat
menoleh beberap kali ke arahku dengan pandangan belas kasihan. Saya bisa mengerti arti
pandangannya itu. Sepertinya dia masih prihatin
dengan keadaanku. Tetapi saya tidak
berdaya menghadapi sikap kedua ibu tetanggaku itu. Karena
saya adalah warga
baru di lingkungan mereka. Apa lagi, saya juga baru berapa bulan menikah. Belum terlalu memahani hidup bertetangga di tempat baru. Dan lebih lagi, saya adalah seorang pendatang yang berasal
dari pulau lain. Ya, kedua
ibu itu tentu hanya mau melindungi saya, pikirku. Apa lagi mereka
pasti terpengaruh
dengan kebiasaan masyarakat umum, yang selalu memandang
orang-orang cacat sebagai pengganggu. Buktinya, kedua
ibu itu mulai menasehati saya, agar saya
tidak
berdekatan dan bergaul dengan orang bisu dan tuli. Sebab hal itu bisa mempengaruhi anak dalam kandunganku. Malah kata
mereka, nanti
anak saya bisa lahir cacat seperti orang itu.
Tanpa membantah nasehat mereka, saya hanya berkata
dalam hati bahwa selama saya tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak baik
kepada orang cacat itu, saya dan bayi saya akan baik-baik saja.
Kedua
ibu itu pamit dan pergi dari rumah saya. Tetapi hati saya tetap
tidak tenang membayangkan
lagi ketika mereka
mengusir orang bisu tuli itu. Dan rupanya suasana ini menguasai seluruh diriku
sehingga mual
dan sakitku yang lain-lain tidak saya rasakan sampai pagi
berikutnya. Keesokan
harinya, pagi-pagi
sekitar jam
7, pintu rumah diketuk.
Suamiku pergi membuka pintu dan saya
terbengong-bengong melihat lagi orang bisu tuli yang
kemarin itu. Ia berbicara dengan suamiku memakai bahasa isyarat. Ia menggerakkan
tangannya dan suamiku juga menjawab dengan gerakan tangan pula. Rupanya suamiku
sudah lebih dahulu mengenal orang bisu tuli itu. Di tangan orang bisu tuli itu,
ada dua buah mangga muda, yang katanya dia bawa untukku. Saya pun menceritrakan
kejadian hari sebelumnya kepada suamiku. Suamiku agak tersinggung dan menyatakan
tidak suka dengan perlakukan seperti hari kemarin itu kepada si bisu tuli itu. Melalui
bahasa isyarat tangan, suamiku
meminta si Met, nama yang diberikan suamiku kepada orang bisu
tuli itu, agar
si Met bisa selalu datang ke rumah kami. Si Met pun
mengangguk tanda setuju.
Hari-hari
selanjutnya, si Met sering datang ke rumah kami dan
membantu meringankan banyak tugas yang harus saya kerjakan sebagai wanita
hamil. Dia
menyapu rumah, mencuci piring dan
menimbah air dari sumur. Hal itu berlangsung dari bulan Januari sampai April tahun 1974. Selama bulan Mei sampai bulan Juli, si Met tidak pernah muncul lagi.
Saya dan suami saya merasa kehilangan si Met. Tiba
tiba, tepatnya tanggal
6 Agustus 1974, si
Met muncul lagi sambil memikul sebuah karung, penuh
berisikan pisang dan ubi. Saat
itu usia kandunganku tinggal menunggu hari untuk
melahirkan anakku. Saya dan suami merasa tidak perlu
menanyakan ke mana saja si Met pergi, ketika ia menghilang selama 3 bulan terakhir itu.
Juga tidak perlu, kami menyanyakan di mana rumah dan
kampungnya. Karena rasanya akan percuma. Kami
tidak akan mendapatkan sebuah jawaban yang tepat dan
pasti.
Maka kami pun tidak
peduli dengan semuanya itu. Tetapi ada satu
hal lain yang pasti, kami benar-benar mensyukuri kehadiran si Met
yang tepat waktu. Dia
datang pada saat
kami membutukan. Tanggal 16
Agustus 1974, tepat pada jam 14.00 sore, selamat
saya
melahirkan putraku. Dia sehat dan
normal. Kini putraku, Bobby,
sudah berusia
38 tahun.
Sudah menikah dan
memiliki dua
anak laki laki, yang juga sehat dan
normal. Apa yang dikatakan kedua ibu tentanggaku dulu itu,
ternyata hanya sebuah ketakutan tidak berarti. Itu hanya anggapan umum yang
tidak benar. Sebuah “pameo” atau vonis tidak beralasan yang patut dihindarkan dalam
kehidupan bermasyarakat.
Pada tahun
1977, ketika Bobby berusia 3 tahun, suamiku pindah tugas dari Kupang ke Atambua
(kota dekat perbatasan dengan Timor-Leste). Sayang sekali, ketika itu Bobby kecil belum sempat
mengenal si Met. Selama di Atambua, kami hilang kontak dengan si Met di Kupang. Ketika kami
kembali ke Kupang pada tahun 1990, si Met
tidak kami temukan
lagi. Apakah mungkin
si Met sudah
tiada? Atau entah ke manakah
Tuhan telah mengutus si Met untuk tugas-tugas lain? Kisah si Met, telah saya ceritakan kepada
anak dan cucu-cucu saya. Bagi saya
pribadi,
sosok bisu
tuli si
Met, sangatlah berarti. Dalam dirinya ada hidup
dan kehidupan. Pada bahasa isyarat dalam komunikasinya yang serba terbatas, tetap
manusia lain bisa menemukan kesetiaan dan cinta. Terima kasih
si Met. Ke mana lagi kami akan mencarimu? Meski kini engkau tidak lagi bersama
kami, tetapi dalam kunjungan persahabatan ke beberapa SLB di kota Kupang, saya
telah berjumpa dengan banyak "Met" yang lain. Kerinduan kami akan engkau,
sedikitnya terbalaskan. Terima kasih saya juga untuk semua mereka yang telah
membuka cakrawala pikirku untuk mengenal lebih dekat, teman-teman tuna rungu.
Melalui tulisan kisah nyata ini, ingin saya sampaikan salamku kepadamu semua
di mana saja, di seruluh dunia. ***
Kiriman: Mutiara Gajeng.
Naikoten, Kupang,
Timor, NTT.
Ibu Mutiara Gajeng yth.
ReplyDeleteBAGUS! Mengharukan! Si Met berhati "suci" telah memberi berkah kepada keluargamu pada masa sulit.
Dengan ini, kami redaksi yang seluruhnya Tuna Rungu mohon ijin untuk mengkopi naskah ibu Mutiara untuk dimuat dalam majalah kami. Boleh?
Terima kasih.
Salam dari redaksi MSMP (Melawan sunyi, mengukir prestasi".
Akan saya teruskan dulu permintaan Redaksi MSMP ke ibu Mutiara. Jawaban beliau akan saya teruskan. Terima kasih untuk penghargaan. Salam dari Dili.
ReplyDeleteCerita tentang kisah nyata yang ditulis ibu Muti sungguh menyentuh hatiku tapi juga sekaligus membuatku sedih dengan perlakuan yg harus si Met terima dari 2 tetangga yg jahat itu padahal dia tak punya salah apa2 pd mereka hanya karena dia cacat tuli bisu. Kalau aku yg jadi si Met..wah..tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan si Met saat itu.. Tapi syukurlah si Met yg tulus telah membawa cahaya terang pd ibu Muti sekeluarga. Salam hangat dari Agustin untuk ibu Muti & juga untuk si Met yang kini berada di tempat antah berantah.
ReplyDeleteKepada Redaksi MSMP di Yogyakarta.
ReplyDeleteIbu Mutiara setuju dengan permintaan redaksi untuk mengambil artikelnya ini untuk kebutuhan redaksi. Salam.