Dalam cerpen saya yang berjudul, “Kerbau Dungu”, yang pernah saya muat di akun facebook, saya berceritra tentang seorang anak tuna rungu yang
berasal dari kampung saya, Oelolok, di pulau Timor, NTT. Pada saat itu saya
masih SD. Ketika saya dan teman-teman yang berpendengaran normal masuk ke
kelas, si anak tuna rungu ini hanya bisa bermain-main di halaman sekolah. Kerap
ia tergoda untuk mengganggu dari kelas ke kelas. Karena sisi depan dinding
sekolah kami terbuat dari bilahan
bambu setinggi satu meter, maka sering ia mendongakkan kepala ke dalam kelas lewat
dinding itu. Atau ia tunjukkan tangannya dan membuat bahasa isyarat yang dia
ciptakan sendiri. Anak-anak dalam kelas selalu terganggu. Maka berkali-kali ia
diusir oleh guru-guru kami, tetapi ia selalu kembali lagi. Karena ia dilahirkan
tuli, maka ia sama sekali tidak bisa berbicara dan hanya mengeluarkan
bunyi-bunyi suara tidak jelas. Bahasa isyarat yang ia gunakan pun kerap tidak
bisa kami pahami. Maka ia sering dicap dan diolok-olok sebagai “kebau dungu” oleh anak-anak normal di
sekolah saya dulu itu. Suatu tindakan yang sama sekali tidak terpuji pada saat
itu. Tetapi itulah kenyataannya. Karena di daerah saya, bahkan hingga hari ini,
belum ada sekolah khusus untuk untuk anak-anak tuna rungu. Andaikan saja kalau
ia bisa membaca dan menulis, tentu ia tidak harus menyandang julukan yang tidak
bagus itu. Ia tentu bisa juga merasakan dan mengalami apa itu “pesona kata di telaga sunyi.”
Ketika saya membaca makalah Dita Rukmini berjudul: Bisindo,
Sebuah Aset Budaya Bangsa Indonesia dalam majalah tuna rungu, Melawan Sunyi Meraih Prestasi edisi
September 2011, tentang bahasa isyarat, barulah saya tahu bahwa bahasa isyarat
itu berbeda dari bangsa ke bangsa, negara ke negara dan bahkan dari suku ke
suku. Dan bila bahasa isyarat itu sudah menjadi bahasa isyarat Nasional sebuah
Negara, bahasa isyarat itu perlu dipahami dan dipelajari. Bukan saja oleh kaum
yang berkesulitan mendengar, tetapi juga oleh orang-orang normal yang mendengar.
Ini suatu informasi mahal bagi saya pribadi sebagai orang normal. Dan justru
informasi mahal ini saya dapatkan dari sebuah majalah yang dikelola dan
diterbitkan oleh orang-orang penyandang kesulitan mendengar. Maka di sini saya
ingin mengatakan bahwa kegiatan membaca itu bagaikan menimba “pesona kata di telaga sunyi.” Karena
ketika membaca, kita tidak perlu berbicara. Ketika membaca, kita tidak perlu
menonton. Ketika membaca, kita tidak perlu menari. Ketika membaca, kita tidak
perlu berlari. Tetapi ketika membaca, mata, hati dan pikiran kita, diam-diam menyantap informasi penting
bagi kebutuhan jiwa kita. Informasi kita bertambah, pengetahuan kita menumpuk
dan kita tidak perlu ketinggalan berita penting tentang banyak hal berguna yang
terjadi di sekitar kita. Bagi orang-orang normal, bisa saja telinga mereka
menjadi perekam informasi. Tetapi tidak semua percakapan sehari-hari yang
didengar telinga, adalah ilmu dan pengetahuan. Maka orang normal pun perlu
membaca. Apa lagi anak-anak tuna rungu yang tidak bisa mendengar. Maka membaca bagi
manusia adalah salah satu jalan terbaik untuk menambah informasi dan
pengetahuan. Tidak pilih-pilih, entah dia orang mendengar atau dia orang tuli,
alias tuna rungu.
Pada rubrik Suara
Alumni dalam majalah Melawan Sunyi
Meraih Prestasi edisi September 2011, dalam tulisannya berjudul “Buat Apa Baca?”, Meilani Wulandari alias Meilan
mengatakan: “Tuna rungu mustahil
mendapatkan informasi dari radio. Mata lelah membaca bibir pembawa berita
televisi. Bahkan dari orang-orang normal pendengar di sekitar kita, belum tentu
mau memberi informasi secara lengkap. Oleh karena itulah … kita harus mengejar
ketertinggalan informasi … HANYA dapat diperoleh dengan MEMBACA!” Sekali
lagi saya mau katakan di sini bahwa ajakan Meilan
ini pun, tidak lain adalah untuk menimba “pesona
kata di telaga sunyi”. Meilan
menutup tulisannya itu sambil menegaskan: “Betapa penting MENBACA. Semakin
banyak membaca, semakin luas wawasan!” You
are extremely right, Meilan.
Banyak terima kasih kepada Suster Antonie Ardatin, PMY dan
Ibu Dita Rukmini yang telah merestui
pemuatan scan cover depan dan
belakang majalah Melawan Sunyi Mengukir
Prestasi edisi September 2011, sebagai ilustrasi tulisan saya ini. Kepada mbak Apri
di Yogyakarta, yang telah mengusahakan scan
cover dan beberapa artikel yang saya kutip dalam
tulisan ini, saya hanya bisa bilang, matur
nuwun sanget. Dan kepada teman-teman penyandang kesulitan mendengar di
seantero jagat ini, majalah Melawan Sunyi
Mengukir Prestasi adalah karya besar dan indah untuk perkembangan
inteletualitasmu. Menulislah untuk “dia” dan bacailah “dia”. Kata-kata yang
diucapkan akan lenyap. Tetapi kata-kata yang tertulis akan tetap bergema! ***
Dili,
Timor-Leste, 02-02-2012
Prisco Virgo. Koordinator Utama Blog-Spot Penghiburku.
Puji syukur Tuhan dan para penolong kita, sehingga kita para alumni kini sudah dapat membuat bahasa isyarat, membaca, berbicara, dan menulis. Sebagai sarana komunikasi kita antar tuna rungu dan dengan non tuna rungu.
ReplyDeleteMarilah kita suka sekali membaca dan menulis untuk blog "Penghiburku", majalah "Melawan Sunyi, Mengukir Prestasi".
Di sinilah kita dapat saling memberi penghiburan..
You benar, mbak Apri. Dan yang senior tentu perlu membimbing yang yunior. Salam dari "markas" Penghiburku di Dili, Timor-Leste.
ReplyDeleteteringat aku wkt di SD umum sblm ke SLB.B Dena Upakara tidak naik 3x. Aku dikatakan bledug (bodoh), budeg (tuli) n wong edan krn tertawa sendiri (emang ikut2an ktawa tp gk nyambung).. krn memang gak tahu.... pokoknya senang klw gk naik krn senang dpt teman baru....malah diejek... Aku gk tahu istilah2 yg dipercakapkan org2 di sekitar krn tunarungu blm brbahasa.... Masuk ke dunia bahasa di SLB.B DU barulah tahu istilah...dan aku tertawa mengingat masa lalu he,,he..he..
DeletePengalaman yang "kecut" tetapi menyenangkan juga. Hahaha...
ReplyDelete