PENGALAMAN
KERJA *)
Pengalaman pertama kerja Aning adalah sebagai sekretaris pada perusahaan fashion design di Semarang, Jawa Tengah.
Tetapi Aning hanya bisa bertahan di sana selama 4 bulan lalu
minta berhenti. Aning merantau lagi
ke Jakarta dan bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga. Majikannya berwarga negara Jerman. Aning diberi upah Rp 75.000 sebulan
sebagai PRT itu. Ketika Aning
membersihkan ruang kerja majikannya, tanpa sengaja Aning berinsiatif untuk mematikan komputer yang masih menyala pada
program WordStar. Majikannya terkesan karena ternyata Aning mampu mengoperasikan komputer. Maka
Aning diminta untuk membantu
menyelesaikan beberapa pekerjaan melalui komputer, seperti mengetik surat dan dokumen
lainnya. Upah kerja Aning dinaikkan
menjadi Rp 150.000 sebulan. Namun sayang, Aning
hanya bisa bekerja di sana selama delapan bulan karena kontrak kerja dan visa majikannya
habis. Beliau mesti kembali ke Jerman. Kembali lagi ke Yogyakarta, Aning memilih bekerja sebagai aktivis di
LSM Dria Manunggal. Di LSM ini, Aning mendedikasikan dirinya sebagai tenaga suka rela atau volunteer untuk perjuangan advokasi bagi
para Penyandang Cacad (Penca). Aning ikut
terlibat dalam pembuatan draf RUU (Rancangan Undang-Undang) Penca, hingga ikut
menyampaikan RUU Penca ke DPR di Jakarta. Akhirnya draf RUU ini berhasil
disahkan menjadi UU Penca pada tahun 1997 dan sampai sekarang masih
disosialisasikan ke masyarakat umum. Selama tahun 1997 sampai 2005, Aning juga menjadi aktivis LSM LKBH-UWK (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan
Keluarga) dengan kapasitas sebagai guru ketrampilan bagi anak jalanan
dan para nara pidana di LP Wirogunan, Yogyakarta. Selama menjadi aktivis pada LSM ini, Aning melakukan survei pendidikan ke berbagai SLB di Provinsi Yogyakarta. Selama survei itu, Aning menemukan adanya banyak “murid fotokopi” alias para murid
tuna rungu yang asal menyalin saja dari papan tulis, pelajaran yang diajarkan
para guru. Sementara para murid tuna rungu itu sama sekali tidak benar-benar
paham akan pelajaran itu. Juga adanya banyak murid tuna rungu yang “miskin
kata bahasa” alias tidak paham
akan kosa kata bahasa dan arti atau makna dari sebuah kata.
Pada tahun 1997, Aning
bertemu dengan seorang doktor THT yang menjabat sebagai ketua Yayasan Tunarungu
Yogyakarta. Aning berusaha
menyampaikan masalah pendidikan tuna rungu kepada doktor itu. Namun mereka
malah berselisih pendapat karena doktor itu lebih cenderung memperhatikan dunia
kedokteran. Sedangkan Aning ingin doktor
itu memperhatikan juga segi pendidikan bagi kaum tuna rungu. Pada tahun 1998, Aning
berkenalan dengan pak Tantan yang
berpendengaran normal. Beliau ini adalah guru SLB Wonosari di Kabupaten
Gunungkidul, Provinsi DIY. Pak Tantan
adalah mantan guru SLB/B Santi Rama, Jakarta. Ternyata Aning dan Pak Tantan memiliki
paham dan pendapat yang sama mengenai masalah pendidikan bagi kaum tuna rungu. Mereka
berdua sepakat menerapkan MMR (Metode
Maternal Reflektif) untuk pendidikan anak tuna rungu. Inti metode ini
adalah mengajari anak tuna rungu yang semula tidak memiliki bahasa, menjadi
anak tuna rungu yang dapat berbahasa dengan makna yang lebih luas. Berhubung
anak tuna rungu pada awalnya tidak mempunyai bahasa ibu dan belum tahu arti
kata apa pun. Cara mengajar dengan metode MMR adalah identifikasi
antara foto dengan pias nama, identifikasi antara
gambar dengan pias
tulisan, identifikasi antara tulisan dengan
tulisan dan identifikasi antara kartu dengan
pias tulisan. Aning lalu mengajak
pak Tantan bergabung ke Yayasan
Tunarungu di Yogyakarta.
Di samping kesibukan dan kegiatan Aning di beberapa LSM di Yogyakarta, suatu ketika Aning meluangkan waktunya untuk berjalan-jalan sebagai turis domestik dan singgah di Museum Affandi, Yogyakarta. Hal ini disebabkan Aning juga sangat suka seni rupa. Di sana Aning bertemu dan berkenalan dengan Cila, cucu alm. Affandi si pelukis tersohor asal Yogyakarta itu. Sebagai kepala pengelola Museum Affandi, Cila menerima Aning untuk bekerja di sana. Tahun 1999, Aning mulai membantu di bagian restorasi atau perbaikan lukisan. Selain itu, Aning juga diserahi tugas guide atau pemandu wisata di museum Affandi. Suatu hari, Aning terheran-heran karena di antara para pengunjung museum, terdapat pak Anton, yang adalah mantan kepala SLB/B Don Bosco, Wonosobo, dan kemudian menjabat kepala SLB/B Widya Bhakti Semarang. Pada buku tamu museum, pak Anton sempat menuliskan kesannya sebagai berikut: “Saya betul-betul kagum sama karyawan tuna rungu yaitu mbak Aning. Berjuanglah selalu tidak hanya guide di satu tempat, tetapi 'hati juga guide', saya yakin!” – Anton W. Selain bekerja di Museum Affandi, Aning juga bekerja sebagai guru les privat pelajaran umum SDLB bagi 5 anak tuna rungu.
Pada tahun 1998 Yayasan Tuna rungu Yogyakarta mendirikan Yayasan Persekolahan Karnnamanohara. Kata Karnnamanohara berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti: Telinga Indah. Tahun 1999, Karnnamanohara mendirikan SLB/B yang pertama di Yogyakarta untuk menangani anak-anak tuna rungu sejak usia dini. Aning termasuk salah satu perintis dan pendiri SLB/B Karnnamanohara bersama pak Tantan dan ibu Milah, istri pak Tantan. Pada mulanya sekolah mereka ini, menerima 3 murid anak tuna rungu. Tahun 2001, jumlah murid tuna rungu menjadi bertambah banyak. Berhubung kondisi itu, Aning ingin menjadi guru yang handal dan berkualitas bagi para murid tuna rungu. Maka di samping bekerja sebagai guru, Aning juga mengambil kuliah di UPY (Universitas PGRI), Yogyakarta, jurusan Bimbingan dan Konseling atas biaya sendiri. Saat mendaftar kuliah, Aning mengalami diskriminasi dari salah satu dosen yang menjabat sebagai wakil rektor. Beliau keberatan dan meragukan kemampuan Aning sebagai tuna rungu untuk mengikuti kuliah. Karena di Universitas itu, tuna rungu hanya bisa diperkerjakan sebagai tenaga pembersih gedung alias cleaning service. Aning memprotes kepada sang dosen itu karena di sana, ternyata ada tuna netra yang boleh menjadi mahasiswa. Dan itu berarti tuna rungu juga berhak mengambil kuliah di situ. Ada beberapa dosen menyarankan agar Aning mengambil kuliah di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) jurusan PLB (Pendidikan Luar Biasa) karena pernah ada tuna rungu kuliah di sana. Namun Aning tetap bersikukuh pada pilihannya sendiri di UPY jurusan Bimbingan & Konseling karena Aning yakin dia mampu kuliah di sana. Ternyata Aning berhasil lulus pada tahun 2005 setelah kuliah 4 tahun dan mendapat nilai A dengan judul skripsi: “Efektivitas Pelatihan Pengendalian Emosi dalam Peningkatan Sosialisasi pada Anak Tunarungu di kelas Taman SLB/B Karnnamanohara tahun 2005". Setelah itu, Aning pun menyandang gelar Sarjana Paedagogy atau S.Pd.
Berhubung di SLB/B Karnnamanohara diberlakukan “full day school”, maka itu berarti Aning dan semua guru dituntut bekerja penuh waktu di sana. Maka Aning berhenti bekerja di Museum Affandi. Tetapi Aning tetap menjalankan tugasnya sebagai guru les privat bagi anak-anak tuna rungu di sekitar wilayah kediamannya dan tetap aktif di LSM LKBH-UWK. Akhir tahun 2007, Aning dipanggil oleh Pusat Departemen Pendidikan untuk mengumupulkan portofolio dan masuk Diklat PLPG Sertifikasi Guru Bidang ke-PLB-an di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Awal tahun 2008, Aning dinyatakan lulus. Pada tahun 2009, Aning menjadi guru bina wicara di SDLB/B Karnnamanohara. Suatu pengalaman penuh haru pernah terjadi ketika Aning berhasil membuat para muridnya bisa berpuisi dengan irama pada pentas puisi di sekolah tersebut. Pada tahun 2010, Aning menjadi guru Kelas Taman. Sejak SLB/B Karnnamanohara berjalan, mulai juga didirikan SMPLB (Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa) dan Aning adalah guru OHPP atau Olahan Hasil Pertanian & Peternakan hingga sekarang. Sejak siswa SMPLB memasuki kelas III, ada tambahan mata pelajaran yang harus ditanggung oleh Aning, yaitu pelajaran Tata Busana. Karena Aning merasa belum terampil di bidang pelajaran Tata Busana, maka Aning kuliah lagi di Sekolah Mode atas biayanya sendiri. Selain itu Aning juga sedang belajar lagi tentang peternakan karena latar belakang pendidikannya adalah Bimbingan dan Konseling. Aning lalu merintis kerja sama dengan Fakultas Peternakan di UGM dalam hal materi peternakan dan pertanian, supaya Aning bisa mendapatkan berbagi ilmu pengetahuan bagi kepentingan para muridnya di SMPLB.
Aning tidak mempunyai moto hidup atau
impian yang muluk-muluk. Karena Aning
ingin hidup realistis saja. Aning
mengatakan bahwa: “Saya bukan artis tersanjung, tetapi artis tersandung seperti
rumput. Walau tetap diinjak-injak tetap tumbuh. Optimis jadi matahari di dada”.
Maksudnya adalah walaupun kerap mendapat hinaan, tetapi dia mau tetap tegar dan
tumbuh semangat juang. Dan optimis menjadi laksana matahari yang takkan padam
menyinari segala mahluk hidup di mana saja berada. Itulah “Hati Guide Aning” alias Hati Penuntun Aning bagi anak-anak tuna
rungu yang sangat dicintainya. *** (Selesai)
*) Tulisan ini adalah hasil wawancara Catharina Apriningsih, Koordinator Pembantu blogspot Penghiburku di Yogyakarta dengan Marsudiyati Pratamaningsih alias Aning yang pernah menulis artikel berjudul: “Suka Duka Guru Anak Tuna Rungu” dan “Pelangi Kata Pada Bunga Teratai” di blogspot Penghiburku.
Terima kasih mbak Apri dan mbak Aning. Sumbangan kerja keras anda berdua, menjadikan Penghiburku makin diminati oleh para pembaca di seluruh dunia. Parabens dan salam dari basis Penghiburku di Dili, Timor-Leste.
ReplyDeletewah, jadi tahu ceritanya tentang kehidupan bu aning..
ReplyDeleteini aku dulu murid di SLB B Karnnamanohara, sekarang aku bersekolah diumum..